2
Pada akhirnya, Sakuta sadar kalau semua ini sia-sia dan dia pun tidur nyenyak sampai pagi... dimana dia masih belum menyerah dan dengan keras kepala menyalakan TV, menyiarkan kembali kekalahan
tipis yang dialami Jepang.
"Ini sungguh bukan salahku, ya kan?"
Dengan perasaan bersalah yang aneh, Sakuta berangkat tiga puluh menit lebih awal dari biasanya.
Tiga puluh menit yang membuat lingkungan sekitar anehnya tampak berbeda, seperti udara yang entah kenapa lebih bersih, dan dengan perubahan aneh pada orang-orang yang berseliweran di sekitar Stasiun Fujisawa. Kelihatannya disini jadi lebih banyak pekerja. Di waktu normalnya, biasanya lebih banyak murid berseragam.
Perjalanan yang familiar di dalam kereta Enoden membuat semuanya tampak lebih jelas dengan sedikitnya penumpang.
Tentu saja, jalan dari Stasiun Shichirigahama menuju sekolah kosong melompong. Sakuta adalah satu-satunya penumpang yang turun di stasiun. Selama jam-jam sibuk, murid-murid Minegahara akan membentuk sebuah kelompok dan berparade ria sepanjang jalan.
Rasanya seperti benar-benar di tempat yang berbeda.
Sakuta mengganti sepatunya jadi sepatu indoor di lorong pintu masuk yang sepi. Kurangnya orang-orang merubah suasana di sekolah, disini sangat sunyi dan bahkan bisa disebut kesunyian.
Selagi ia menerima perbedaan itu, Sakuta melewati tangga dan menuju ruang lab fisika.
"Futaba, kau disini?" Tanyanya sambil membuka pintu.
Perempuan yang ia cari berada di depan papan tulis. Dia seorang gadis mungil, mengenakan jas putih di atas seragamnya. Dia merupakan satu dari kedua temannya... Futaba Rio.
Dia sedikitpun tidak melihat Sakuta dan malah menghembuskan nafas yang melankolis. Tanpa dihiraukan, Sakuta duduk di hadapannya di sebrang meja tulis.
Di permukaan meja di antara mereka terdapat sebuah gelas kimia dengan roti panggang diatasnya, dan secangkir kopi dengan asap yang mengebul melingkar. Di roti itu terdapat garis gelap yang berasal dari panggangan. Tampaknya, dia ingin sarapan. Klub sains ini sedikit santai dengan Rio sebagai satu-satunya anggota. Rio menggigit segenggam roti di tangannya, melepaskan aroma dari roti hangat dengan suara dersakan.
"Hei..." Sakuta membuka pembicaraan.
"Tidak."
"Aku bahkan belum mengatakan apapun," protesnya.
"Kau repot-repot datang kesini lebih awal, pasti akan menjadi sesuatu yang menjengkelkan, bukan?"
Dia sangat peka, pikirnya. Tapi sekali lagi, siapapun akan tahu ada sesuatu yang salah di situasi ini.
"Aku datang membawa berita fenomena yang sangat menarik."
"Dan persis seperti itu lah yang ku maksud dengan menjengkelkan," Tangan Rio membuat gerakan seolah sedang mengusirnya, "pergi sana."
Sambil marah-marah Rio menggigit kerak rotinya. Dia biasanya jarang menggunakan perasaan terhadap suatu hal, tapi hari ini dia kelihatannya sedang jengkel dan kemungkinan karena sedang dalam kondisi bad mood.
"Sebenarnya ada apa denganmu, apa sesuatu terjadi?" Sakuta merasa risau terhadap hal itu, jadi menanyakannya terlebih dahulu.
"Mengapa kau berpikir seperti itu?" Rio akhirnya melihat Sakuta, matanya mengintip dari balik lensa kacamatanya dengan waspada.
"'Karena kau merasa jengkel."
"Aku tidak jengkel..." tapi sembari ia menyangkalnya, tampaknya dia sudah menyerah menghindari pertanyaan dan memberikan hembusan panjang, "Yah, kupikir mengatakannya dan ditertawai olehmu lebih baik daripada hanya mengkhawatirkannya sendirian."
Rio tampak bergumam sendiri selagi melihat ke kejauhan.
"Apa maksudnya?"
Dia tampaknya tidak yakin ingin jadi positif atau negatif menanggapi hal tersebut.
"Aku naik kereta dengan Kunimi pagi ini."
"Apa dia mencoba menggrepemu?" Tanya Sakuta, pandangannya jatuh ke dada montoknya.
"Kunimi tidak akan melakukan itu."
"Berhenti melihatku seolah kau ingin berkata 'tidak sepertimu'."
"Kalau begitu jangan lihat," Ucap Rio sambil bergerak menyamping berusaha menyembunyikan dadanya. Jelas-jelas dia tidak menyukainya, jadi Sakuta memutuskan untuk berusaha sekuat mungkin agar tidak melihatnya.
"Lalu? Kau naik kereta dengan Kunimi lalu apa?"
"Lalu gak ada apa-apa, aku hanya... aku hanya membenci diriku sendiri karena merasa senang orang itu yang punya pacar berbicara padaku." Kata Rio sambil tersenyum masam.
"Itu hanya kekuatiran anak perempuan."
"Dan jika kau yang berbicara padaku, kau hanya akan menjadi lalat yang berdengung di telingaku."
"Apa itu sungguh perlu dikatakan?"
Ini memang bukan pendapat Sakuta, tapi jika dia dapat membuat Rio marah dan melupakan kesedihannya, maka ini bukan masalah besar.
"Kupikir aku menjadi semakin buruk."
Rio memakan kerak roti terakhirnya dan meneguk lama kopi itu sebelum mengeluarkan hembusan nafas dalam.
"Bagaimana jika kau mengatakannya?" Saran Sakuta.
"Bilang apa?" Giliran Rio yang bertanya, mencoba pura-pura tidak tahu meskipun dia tahu apa yang Sakuta maksud.
"'Aku menyukaimu.'"
"...Ke siapa?" Dia ragu-ragu kali ini. Meskipun dia bertanya, dia tahun nama apa yang akan keluar dari bibir Sakuta.
"Tentu saja, Kunimi," Ucap Sakuta, melihatnya dengan kukuh sehingga ia tidak bisa menghindarinya.
Rio diam-diam mencibir untuk beberapa saat, dan tepat ketika Sakuta pikir dia hendak berbalik ke samping dan menghindarinya, dia berbicara dangan nada cemberut.
"Aku tidak ingin logikamu."
"Maaf."
"Sudah seharusnya."
"Apa kau akan tetap terus seperti ini, Futaba? Kupikir kau harus melakukannya sebelum kau jadi tambah buruk."
Sakuta tahu kalau dia repot-repot datang begitu awal untuk aktifitas klub supaya dia bisa bertemu Yuuma. Dan meski begitu, mau dia bertemu dengannya atau tidak, dia selalu begini.
"Aku bilang aku tidak ingin logikamu," Rio menghembuskan nafas lagi, cukup dalam untuk memenuhi seluruh balon, ekspresinya terlihat sedih, "jika aku melakukannya, itu akan merepotkannya."
"Repotkan saja dia, dia memang si ganteng kalem bajingan."
"Aku harap aku tidak se-sensitif dirimu, Azusagawa."
"Jika kau terlalu banyak memujiku, aku akan mulai tersipu."
"Aku tahu."
"Lelaki adalah makhluk yang bersuka cita ketika dilecehkan wanita."
"Seperti itulah bajingannya dirimu," balasnya.
"Pacarnya Kunimi juga cukup tidak sensitif."
Dia pernah bilang 'aku kasihan ke Yuuuma, bersama dengan orang buangan sepertimu' tepat ke wajah Sakuta. Tidak peduli bagaimana kau melihatnya, harusnya orang-orang yang mengasihani Sakuta, karena ada yang mengatakan itu padanya. Namanya adalah Kamisato Saki. Dia berada di kelas yang sama dengan Sakuta, 2-1, dan meskipun dia bukan tipe-nya, dia populer diantara laki-laki dan terkenal karena parasnya. Dia adalah pusatnya geng-geng kecil yang populer dan imut-imut. Benar-benar kebalikannya dengan Rio, yang datar dan mempunyai kebiasaan bekerja sendiri di laboratorium.
"Hei, Azusagawa."
"Apa?"
"Kau sungguh tidak sensitif, membicarakannya."
"Kau butuh tindakan putus asa. Jika kau tidak menyukainya, akui saja kekalahanmu."
"Seseorang sepertimu seharusnya tidak boleh benar."
Rio tahu kalau itu satu-satunya solusi yang tersisa. Dia tahu tapi tidak melakukannya; karena jika dia mengatakannya, berakhir sudah.
"Hanya aku satu-satunya yang mengatakan hal seperti itu."
"Bahwa dirimu sendiri mengakuinya hanya membuatmu tambah buruk," Rio tersenyum sedikit terhibur, tampaknya mood nya sudah sedikit berubah, "Apa yang ingin kau bicarakan tadi?"
"Aku khawatir hari esok tidak akan pernah datang."
"Tidak ada masa depan cerah yang menantimu lagipula, jadi gak masalah bukan?"
Sakuta memberi jawaban langsung, tapi mendapat balasan tembakan verbal tepat ke hati.
"Ini sangat bermasalah. Aku punya masa depan cerah yang menantiku." Dia mulai berpacaran dengan Mai sore ini, jadi tidak berlebihan menyebut itu masa depan yang cerah. "Pokoknya, hari ini adalah kemarin dan kemarin adalah hari ini."
"Bisakah kau memberitahuku dengan cara yang dapat dimengerti manusia?"
"Aku juga manusia," belanya.
"Meskipun kau babi bajingan?"
"Hey, itu... ah, terserahlah. Uhm..." Sakuta menyerah berdebat dan mulai menjelaskan kejadian aneh yang terjadi padanya dari awal.
Lima menit kemudian, ketika Sakuta selesai menjelaskan, Rio menguap ngantuk.
"Jadi, bagaimana menurutmu, Futaba?"
"Ini merupakan apa yang mereka sebut dengan Sindrom SMP." (note: atau chuunibyou)
"Aku udah SMA tapi."
"Oke, maka ini Sindrom SMA."
"Oi, jangan malas-malasan."
Rio bersikap seolah ini semua membuang-buang banyak tenaga. Dia menyeduh lagi secangkir kopi, dan meminumnya.
"Jika itu bukan delusi, lalu apa itu Sindrom Masa Pubertas yang sangat kau cintai itu?" Saran Rio, dengan nada suara yang malas seperti sebelumnya.
"Aku sama sekali tidak mencintainya."
Sindrom Masa Pubertas adalah nama umum dari rangkaian fenomena ganjil yang diperbincangkan di internet, rumor-rumor palsu tentang 'membaca pikiran', 'memiliki psikometri' dan hal-hal gaib lainnya. Tidak ada yang benar-benar mempercayainya. Tapi, Sakuta telah mengalami beberapa kejadian yang mirip dengan itu. Mungkin kejadian ini juga sama, dia tidak dapat memikirkan penjelasan yang lain.
"Pokoknya, maukah kau melakukan sesuatu," pinta Sakuta.
"Kau lah yang harus melakukan sesuatu."
"Kenapa?"
"Sudah jelas aku dan ke tujuh miliar orang lainnya di planet tidak menganggap kalau hari ini adalah ketiga kalinya yang terjadi."
Rio melirik ke lapang dan melihat tim basebal sedang berlarian. Mereka bercucuran keringat dan tentu saja mereka tidak tampak berpikir kalau hari ini adalah yang ketiga kalinya. Jika mereka berpikir seperti itu, mereka pastinya tidak akan latihan terus-menerus.
"Dan disitulah ketika aku panik."
Rio menggunakan ponselnya yang menampilkan layar dari hasil pencarian. Kata kunci yang ia pakai adalah 'Tanggal 27 Juni', 'ketiga kali', dan 'terulang'. Sayangnya, hasilnya nihil.
"Begitulah, aku pikir ini kejadian Sindrom Masa Pubertas yang disebabkan olehmu," Ucap Rio dengan lancar, memberi Sakuta berita buruk.
"Kestabilan mentalku tidak cukup rendah untuk menyebabkan Sindrom Masa Pubertas, dan aku tidak sedang stres apapun." Hal-hal itu adalah yang dikatakan di internet sebagai penyebab Sindrom Masa Pubertas. Stres berat yang dialami seseorang, atau ilusi, kemungkinan besar penyebabnya. Intinya, Sindrom ini adalah pelarian dari kenyataan.
"Yah, tidak masalah jika kau tidak sadar," sepertinya Rio yakin bahwa Sakuta adalah penyebabnya, "apapun penyebabnya, jika kau mempunyai pemikiran lain terkait apa yang terjadi, katakan saja."
"Apa maksudmu?"
"Jika penjelasanmu itu akurat, aku pikir kalau kau terjebak di lingkaran waktu."
"Iya, kedengarannya benar," jawabnya.
Perulangan waktu sendiri sering muncul di cerita Sci-Fi.
"Mungkin lebih baik jika kau tidak terperangkap di dalam konsep tersebut."
"Kenapa?"
"Ada banyak masalah dengan kembali ke masa lalu," mendengar dia tidak mengatakan mustahil menandakan bahwa ada beberapa teori untuk itu, "kelipatan hari yang semuanya 'tanggal dua-puluh-tujuh Juni' yang kau alami mungkin tampak seperti melihat ke masa depan dari hari sebelum itu."
Rio mengutarakan pernyataan yang mengejutkan. Tampak bukan seperti kalimat yang keluar dari perempuan yang baru saja berkata bahwa sulit untuk pergi ke masa lalu.
"Terdengar seperti kau dengan mudah menerima kewaskitaan." (note: kewaskitaan atau clairvoyance adalah kemampuan untuk mendapatkan informasi tentang sesuatu secara langsung tanpa melalui indera. informasi lebih lanjut googling saja)
"Itu jauh lebih masuk akal daripada kembali ke masa lalu."
"Seriusan?"
"Meski begitu, ini adalah ide yang muncul sebelum mekanika kuantum digunakan... dari fisika klasik." Sakuta merenungkan perkataan Rio. "Pernah dengar Iblis Laplace?"
"Sayangnya aku tidak kenal dengan iblis manapun."
"Jika kau tidak tahu, tidak apa... Segala hal yang ada di alam semesta ini berada dibawah hukum fisika yang sama, mengerti, kan?"
"Iya, itu cuma fisika, bukan?"
"Memang. Jika kau menguraikan hukum-hukum itu ke dalam formula dan melakukan perhitungan, kau dapat memprediksi kondisi sistem masa depan."
Itu penjelasan yang sederhana, tapi tampaknya itu mustahil diterima akal manusia dan Sakuta pun memiringkan kepalanya ke samping.
"Singkatnya, jika kau mengetahui posisi dan momentum setiap atom... massa dan percepatannya juga, kau dapat menggunakan formula klasik untuk memperoleh kondisi masa depan. Ini sering diajarkan di sekolah."
Sangat disayangkan sekali bagi Sakuta, meskipun pergi ke sekolah yang sama dengan Rio, sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ia bicarakan. Ada banyak pertanyaan tak terhitung yang ingin ia tanyakan untuk memperjelas suatu hal.
"Semua atom itu jumlahnya pasti sangat banyak," ucapnya. Jumlahnya pasti cukup banyak untuk dapat bisa dikatakan tak terhingga.
"Memang."
"Jadi apa memang mungkin mengetahui posisi dan momentum atom-atom itu?" Sulit untuk mengetahui ada berapa banyak butir beras pada sebuah onigiri, apalagi atom.
"Setidaknya, dulu... di abad ke-19, fisikawan tidak bisa melakukannya. Meskipun mereka mampu memahami semua informasi tersebut, menghitung hasil formula dari data sebanyak itu membutuhkan waktu lama. Memprediksi satu detik di masa depan membutuhkan waktu lebih dari satu detik, jadi mereka tidak bisa memprediksi dalam waktu dekat."
"Aku mengerti itu."
Komputer modern juga mungkin mustahil melakukannya.
"Jadi, fisikawan Laplace berpikir tentang keberadaan gaib yang bisa melakukan hal tersebut."
"Dan itu Iblis Laplace?"
Rio perlahan mengangguk sebelum melanjutkan.
"Iblis itu memiliki kemampuan untuk mengetahui posisi dan momentum semua atom dalam sekejap, dan menggunakan informasi itu untuk menghitung masa depan. Dengan kata lain, Iblis Laplace dapat melihat segalanya di masa depan."
"Hmmmm," recok Sakuta.
"Kau tidak terlihat menyetujuinya."
"Gak juga, menghitung masa depan dapat dimengerti, tapi bukankah pemikiran kita mengubahnya? Bisakah kau menyebut itu upaya melihat masa depan?"
"Ah, jadi itu masalahnya."
"Kau tidak bisa memprediksi emosi, bukan?"
"Bisa," bantah Rio dengan jelas.
"Huh?" Hanya itu satu-satunya yang dapat keluar dari mulut Sakuta.
"Tubuh manusia juga dibuat dari atom-atom. Jika kau mengetahui posisi dan momentum setiap atom tersebut, kau dapat memperoleh bagaimana pemikiran akan berubah atau bagaimana perasaan yang akan dirasakan orang tersebut."
"Begitu... aku harap aku tidak bertanya tadi."
"Jika kau terus mengikutinya, tidak akan ada akhir bagimu."
"Sungguh? Tapi berdasarkan yang kau katakan... jika kau melibatkan emosi, maka mengetahui posisi dan momentum setiap atom pada saat itu juga, kau dapat memprediksi bagaimana suatu hal akan terjadi, bukan?"
"Benar."
"Lantas bukankah itu artinya kalau masa depan itu sudah ditetapkan?" Jika kau mengetahui semua posisi dan momentum atom-atom lalu segala hal lain tinggal masalah waktu saja, tidak perlu mengukur yang lainnya. Dengan kata lain, tidak ada yang akan berubah selain waktu. Takdir fisika dan matematika sudah tidak bisa diganggu gugat.
"Aku terkesan kau menyadarinya, kerja bagus, Azusagawa!" Rio memujinya seolah seperti memuji anak kecil. "Itu tepat sekali, itulah arti pembicaraan kita sejauh ini."
"Lalu apa? Mau aku belajar atau tidak, aku akan mendapatkan nilai yang sama di ujian minggu depan?"
"Tidak terlalu. Nilainya memang sudah pasti ditetapkan. Tapi hal itu tidak dilihat dari pilihan antara belajar atau tidaknya, sungguh, mau kau belajar atau tidak hal itu sendiri sudah diputuskan."
"Hmm, ah, iya."
Masa depan yang ditetapkan memang seperti itu.
"Katakanlah kau memutuskan 'masa depan sudah diputuskan ini, aku tidak mau repot-repot berusaha' ketika kau mendengar apa yang kukatakan."
"Meski begitu, bukankah Iblis Laplace tahu aku mendengar itu kemudian berusaha melawannya?"
"Tepat sekali."
Sangat rumit, tapi dia mengerti. Kemudian...
"Lantas bukankah takdir kita sudah ditentukan lebih dulu?" Tanya Sakuta.
"Apa kau sudah lupa dengan yang aku katakan di awal tadi?"
"Kalau kamu sangat senang Kunimi berbicara padamu."
"Mati sana."
"Umm... itu 'dari sebelum mekanika kuantum digunakan', bukan?"
"Jika kau ingat, maka jangan menganggapnya remeh." Rio melihatnya dengan tatapan sedikit kesal. Sebuah ekspresi keperempuanan yang tak diduga dari sikap blak-blakannya yang biasa. "Aku pernah menjelaskan kucing Schrodinger padamu sebelumnya."
"Yang dimana kucing itu entah hidup atau mati sebelum kau membuka kotaknya?"
Hal itu pernah ia dengar ketika dia meminta saran apa yang sedang terjadi dengan kejadian Sindrom Masa Pubertas yang dialami oleh Mai.
"Yah, kerja bagus telah mengingat sebanyak itu."
"Terus puji aku."
Rio mengabaikannya dan terus melanjutkan.
"Apa kau ingat aku pernah menjelaskan kalau didalam mekanika kuantum bahwa posisi-posisi atom hanya dapat ditentukan secara probabilistik?"
"Aku ingat. Untuk memperbaiki posisi tersebut, kau harus mengamatinya... Yang itu, bukan?"
"Iya. Jadi, pengamatan adalah kuncinya, untuk melihatnya kau membutuhkan cahaya."
Rio mengeluarkan senter dari laci dan menyinari bola baseball yang ada di meja.
"Itu untuk mengetahui posisi atomnya, kan?"
"Benar, tapi atom sangatlah kecil, jadi jika atom terkena cahaya, percepatannya berubah." Rio menggelindingkan bola itu ke ujung meja, kemudian jatuh dan memantul dua kali, dan berhenti di kaki kursi. "Dan begitulah, jika menemukan posisi atom merubah percepatannya, yang berarti tinggal mengetahui percepatannya, dan dengan demikian momentum berarti posisinya menjadi probabilistik lagi. Tidak mungkin untuk mengetahui keduanya."
"Itu menjengkelkan."
"Dan sekarang jelas sudah kalau Iblis Laplace dimusnahkan oleh mekanika kuantum, yang menjadi bukti bahwa masa depan tidaklah ditetapkan. Sudah lega sekarang?"
Sejujurnya, dia tidak bisa merasa lega. Sakuta sendiri tidak begitu mengerti mekanika kuantum dan tidak bisa mempercayai sesuatu yang tidak begitu ia pahami.
"Tapi mekanika kuantum itu tentang pengamatan, bukan?"
"Tentu saja."
"Lantas-"
"Aku tahu apa yang ingin kau katakan, kalau iblis Laplace itu pada dasarnya melebihi manusia, jadi mungkin iblis itu bisa tahu keduanya," Rio membuka mulut mencegahnya berbicara dengan tatapan penuh percaya diri.
"Iya, itu yang ingin aku katakan."
"Kau bisa memutuskan ingin seberapa hebatnya iblis itu dibandingkan dengan manusia."
Rio terlihat seperti mengikuti pembicaraan ini hanya untuk mengatakan itu, dan di saat yang sama mengatakan bahwa Sakuta lah Iblis Laplace nya.
"Aku bukan iblis jahat seperti itu."
"Pastikan saja kau tidak tertangkap basah lalu dibedah."
"Akan baik-baik saja selama kau tidak menjualku ke sekelompok fisikawan yang busuk."
"Jika aku melakukanya, mungkin kita tidak akan bisa bertemu lagi," Ucap Rio sambil melirik ke ponselnya yang ada di meja, "jika kau tetap bersikeras kalau itu bukan dirimu, kau harus menemukan Iblis Laplace yang aslinya."
"Menurutmu dimana itu?"
Sekolah tidak mengajarkan caranya menemukan iblis seperti itu.
"Iblisnya, sepertimu, pasti mempunyai ingatan akan terulangnya hari, bukan? Menurutku mungkin saja mereka mengambil tindakan yang berbeda dari yang mereka lakukan di tanggal 27 Juni sebelumnya."
"Ahh, aku mengerti..." Rio sangat tepat, menyadari kalau hal ini kemungkinan akan membuat orang itu berusaha melawannya, atau bingung dengan situasi yang terjadi.
Meskipun begitu, Sakuta tidak mempunyai tujuan pasti, tidak tahu kemana harus mencari.
Sakuta memanggul tasnya dan berdiri, menjulurkan tangan untuk membantu Rio berdiri, tapi dia hanya berkata.
"Duluan saja."
"Kalau begitu makasih," ucapnya, dan selagi ia ke pintu dan hendak pergi, dia ingat sesuatu dan berhenti disana, "Ah, benar, Futaba?"
"Apa?"
"Jika hari ini terjadi lagi, apa kau ingin aku melalukan sesuatu supaya kau tidak bertemu dengan Kunimi pagi ini?"
Kalau seperti itu, Rio tidak akan terlihat sangat sedih.
Rio tetap diam untuk sebentar.
"Kau tidak perlu khawatir," ucapnya sedikit tersenyum, "aku sendiri yang akan melakukan sesuatu terhadap hal itu."
"Itu benar, kau berhutang banyak padaku, jadi aku harus memastikan kau bisa membalasku."
"Aku juga akan mengingat bunganya."
Sakuta pergi meninggalkan ruang lab fisika sementara Rio melihatnya pergi dengan senyuman sinis.
Part 3
1 Comments
kok saya puyeng baca nya ya :v btw thanks min udah translate, semoga lanjut terus seishun buta yarou nya
ReplyDeletePost a Comment
Silahkan berkomentar dengan adat dan etika yang pantas.