3

"Kau harus menemukan Iblis Laplace yang asli."

Rio mengatakan hal itu padanya, tapi harus darimana dia memulai? Dia bahkan tidak punya perkiraan siapa iblis nya, terlebih, tidak ada jaminan kalau iblis itu akan berada di dekatnya. Hal terburuknya, iblis itu bisa saja seseorang yang hidup di sisi lain bumi ini.

"Berakhir sudah kalau memang begitu..."

Dia hanyalah murid SMA biasa, dia bahkan tidak punya biaya untuk menyebrangi bumi atau bahkan mempunyai passport. Harapannya pudar. Sebenarnya, mungkin kata suram lebih cocok untuk kalimat tersebut.

Mood nya turun drastis.

Meski begitu, dia pergi menuju ruang kelas di lantai tiga saat makan siang tiba untuk menepati janji makan siang bersama Mai di ruang kelas kosong.

Saat ini, hal terpenting bagi Sakuta adalah berpacaran dengan Mai. Meskipun hal itu terhapus dari eksistensi. Sekali lagi, akan tiba waktu baginya memakan makanan buatan Mai dan menembaknya. Setidaknya hal itu dapat menyelematkan Sakuta dari kebahagiaannya yang kesepian.

Sakuta dengan riang membuka pintu kelas. Pada saat itu, dia mendengar suara dari dalam yang ia yakini ruang kelas yang sepi. Terlihat, dia dapat melihat bagian belakang seseorang yang berbalut rok di bawah bayang-bayang meja guru. Rupanya, ada yang sedang berusaha menyembunyikan diri. Sebuah firasat buruk yang kuat mengalir di punggungnya.

Ini tidak terjadi di kali pertama dan kedua. Pada kedua kesempatan itu, Sakuta tiba tepat di awal makan siang, diikuti sedikit keterlambatan dimana mereka menikmati makan siang yang memuaskan. Tidak ada yang menyela mereka, dan Sakuta tidak menemukan siapa pun selain Mai di ruangan itu.

Dan begitulah ini adalah perkembangan yang berbeda dari yang pertama atau kedua kali dia menjalani hari itu, pengaruh dari seseorang yang membuat tindakan yang berbeda.

Kata-kata Rio sejak pagi itu melintas di benaknya.

"Iblis itu, sepertimu, akan mempunyai ingatan tentang hari-hari yang terulang, kan? Maka kupikir mereka mungkin akan mengambil tindakan yang berbeda dari yang mereka lakukan pada tanggal dua puluh tujuh Juni yang lalu."

Dan kemudian di depan matanya ada situasi yang cocok dengan kalimat itu secara sempurna.

“Ketemu, Iblis Laplace,” ucap Sakuta, dan sebagai tanggapan, gadis yang sedang bersembunyi itu dengan penuh rasa takut mengintip keluar, seperti seekor binatang kecil yang keluar dari sarangnya dan sedang memeriksa bahaya.

Sakuta mengenali wajah itu. Wajahnya terbingkai oleh potongan rambut bob pendek yang sedang tren dan memiliki mata bundar yang besar serta debu riasan yang memberikan kesan lembut dan imut. Aura 'kekininan' terpancar dari seluruh tubuhnya, memperlihatkannya sebagai gadis SMA yang sesuai dengan imej istilah, gadis SMA.

Dia sedang memegang smartphone-nya, dengan kasing salmon-pink, di satu tangan, dan mulutnya terbuka seperti hendak berbicara. Dia adalah anak kelas satu, Koga Tomoe.

Dia ramping, bahkan untuk seorang gadis dan tampaknya tidak begitu berlebihan baginya, jadi dia terlihat agak lemah untuk disebut iblis. Dia paling tidak dapat disebut anak setan, iblis mungil.

Angin laut berhembus dari jendela yang terbuka membuat rambut dan rok Tomoe berayun sedikit sebelum dia memecah kesunyian.

"Satou Ichirou."

"Itu nama samaran yang aku gunakan untuk bersembunyi dari dunia ini," jawab Sakuta, terkejut karena dia ingat nama palsu yang dia berikan ketika ia pertama kali memperkenalkan dirinya. Rupanya, Tomoe adalah tipe yang mengingat nama seseorang ketika mereka bertemu, tidak seperti Sakuta.

"...Kamu Azusagawa-senpai, kan?" Tanyanya, sambil melirik keatas tidak pasti.

"Azusagawa Sakuta, kelas dua."

“Aku Koga Tomoe. Kelas satu," ucapnya, beralih ke nada sopan yang dipaksakan, memberi kesan lebih lembut.

"Kau bisa berbicara dengan santai, bagaimanapun juga, kita adalah teman seperjuangan tertendang bagian belakang."

"Lupakan itu!" Pipi Tomoe menjadi cemberut, kembali ke imej yang dimiliki Sakuta tentang dirinya. Mungkin mengingat rasa sakit saat itu, tangan Tomoe menutupi punggungnya, mengambil pose yang tampak tidak sesuai dengan seorang adik kelas.

"Koga, aku punya pertanyaan aneh."

"Apa?"

"Berapa kali kamu hidup hari ini?"

Mata Tomoe melebar mendengar pertanyaan Sakuta, bergerak ke kiri dan ke kanan sambil terkejut dan sedikit gelisah.

"Bagiku ini yang ketiga," ucap Sakuta.

Mendengar itu, dia mengangguk dan kemudian berkata:

"Bagiku juga ini yang ketiga," mengangkat tiga jari. Pada saat itu, ekspresinya seketika berubah menjadi air mata dan sebelum Sakuta bahkan bisa bereaksi terhadap hal itu, "Ini... bukan hanya aku."

Air mata mulai jatuh dari wajahnya dan dia terjatuh ke lantai karena lega atau mungkin kewalahan.

"Apa maksudnya ini!?" Tomoe berteriak.

"Entahlah."

"Kenapa harinya terulang!?"

"Gatau."

"Kenapa kamu gatau!?"

"Mau gimana lagi aku gak tahu apapun."

Kelegaannya yang sebelumnya kembali menjadi gelisah.

"Kupikir kau bisa membantuku, balikin air mataku!"

"Minum saja air dari keran."

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Dia bertanya, Sakuta juga sebenarnya ingin menanyakan itu. "Apa yang akan aku lakukan?" Dia bertanya lagi, dengan nada yang tidak biasa. Dia sepertinya tidak mengerti penyebab dari situasi yang dia alami, kau dapat menyebutnya dia sama sekali tidak tahu apapun.

"Kenapa kau sangat tenang!?" Sekarang dia mendesak, memegang kerah baju Sakuta dan mengguncangnya.

"Apakah panik akan membantu?"

"Tidak akan, tetapi itu hal yang wajar."

"Benarkah?"

"Benar, kau membuatku kesal, Senpai. Aku pikir orang menyimpang yang nembak di depan seluruh sekolah akan mengerti."

"Aku pikir memanggil orang lain 'membuatku kesal' langsung ke wajah mereka juga cukup membuatku kesal."

"Berisiiiikkk!"

"Sendainya harimu memang terulang, apa kau tahu apa yang sedang terjadi?"

"Sedikitpun tidak."

"Tidak ada?"

"A-aku tidak tahu sama sekali."

"Gak guna."

"Tidak, kamu yang gak guna!" Dia bersikeras.

"Apa akhir-akhir ini kau punya pikiran yang tidak menyenangkan atau yang mengkhawatirkan?"

“Kenapa aku harus memberitahumu? Ah, ada pesan." Dia segera melihat hpnya.

"Karena... ini sepertinya Sindrom Masa Pubertas. Jika itu disebabkan oleh kondisi mentalmu yang tidak stabil, menyelesaikan penyebab itu juga menyelesaikan masalah ini."

"Sindrom Masa Pubertas... Senpai, kau masih waras?" Dia bertanya mengejek, tatapannya masih terpaku pada hpnya sambil mengetuk-ngetuk layar hpnya. "Itu cuma rumor di internet. Aku tidak percaya kau mempercayainya."

Alasan Sakuta percaya hal itu ada adalah karena pengalaman luar biasanya mengalami fenomena seperti itu di masa lalu.

Pertama kalinya terjadi yaitu pada adik perempuannya, Kaede. Hanya melihat tulisan dan pesan kejam dari teman sekelasnya menyebabkan memar di kulitnya seperti dia telah dipukul, dan Sakuta melihat luka yang terlihat seperti Kaede diiris menggunakan pisau dengan matanya sendiri.

Sebulan sebelumnya, dia melihat keadaan di sekitar Mai, dan dia melupakannya. Dan sekarang, situasi ini mengikuti tren.

"Aku mengerti perasaanmu, tapi setelah menjalani hari yang sama tiga kali, aku ragu Sindrom Masa Pubertas hanyalah legenda urban."

"Ugh, kau benar..." Ada batasan untuk melarikan diri dari kenyataan dan bertanya pada diri sendiri apakah kau sedang bermimpi. Dengan Tomoe dalam situasi yang sama, situasinya semakin realistis. Mungkin ini hanya melihat masa depan seperti yang disarankan Rio, tetapi secara fisik terasa nyata.

"Juga, berhentilah main-main saat kita sedang berbicara," omel Sakuta sambil menarik hp dari tangan Tomoe.

"Ah, kembalikan!" Teriak Tomoe sambil bangkit dan meraih hpnya ke arah Sakuta memegangnya diatas kepalanya, di luar jangkauannya yang pendek, "Aku tidak akan bicara sambil main hp!"

Dia mengakui kesalahannya, jadi dia mengembalikannya.

"Nih."

Seperti binatang buas yang berhati-hati, dia melesat maju dan mengambil hpnya, langsung mulai memainkannya sambil diam.

Keheningan membentang di antara mereka selama beberapa saat.

"Jadi, kau berhenti bicara?"

"Diam, kau menggangguku."

"Oi, kau itu perempuan."

Dan begitulah, Sakuta menunggu sekitar dua puluh detik.

"Jadi ada apa?" Tanya Tomoe, akhirnya mendongak dari layar.

“Apa akhir-akhir ini kau punya pikiran yang tidak menyenangkan atau yang mengkhawatirkan? Itu mungkin memberi kita petunjuk tentang cara terbebas dari tanggal dua puluh tujuh.”

"...Hmmm." Dia mengerutkan alisnya, berpikir serius, dan setelah sepuluh detik, dia bicara dengan sedikit tersipu, sangat serius. "Berat badanku naik sedikit."

Memandangnya, Tomoe itu agak mungil dan kurus. Dia bisa disebut ramping dalam berbagai arti kata.

"Ke-kenapa kau melihatku seperti itu?" Dia bertanya dengan gemetar.

"Tidak masalah. Jika memang begitu, kau itu terlalu kurus. Jika kau menambah berat badan, mungkin daging akan muncul di papan cuci milikmu."

"Semua makanannya cuma masuk ke perut sama punggungku doang."

Sekarang dia mengatakannya, pinggang dan bagian belakangnya memiliki ketebalan yang masuk akal.

"Tampaknya itu tumbuh lebih besar jika kau merabanya."

"Aku sudah mencobanya," dia bersikeras, tangannya tanpa sadar menangkupkan dadanya, terlihat bodoh menurut pandangan Sakuta.

"Kalau begitu menyerah sajalah. Cowok-cowok tidak suka cewek karena dadanya lagipula. Ada yang lain? Sesuatu yang lebih berguna?”

“Kelas renang sudah dimulai jadi ini sangat berguna! Aku tidak punya payudara, tidak juga punya tubuh yang ideal, musim panas memang kayak neraka..."

Dia sepertinya akan lanjut bicara ketika matanya melebar lagi dan dia terdiam sebelum mengeluarkan suara kecil selagi ia melihat ke belakang Sakuta... ke koridor.

"S-sembunyi!" Dia bersikeras, menarik lengan Sakuta dan mendorongnya ke bawah meja guru.

"Kau sedang main apa?"

"Lakukan saja!"

Tomoe mengikutinya ke ruang sempit di bawah meja. Hampir membuat Sakuta mengangkang sambil berbaring di lantai.

Ini mungkin semacam game yang populer di kelas satu. Sakuta benar-benar tidak mengerti masa muda.

Sambil bertanya-tanya, dia melihat apa yang sedang terjadi dan dapat melihat seorang anak laki-laki melihat dari pintu yang terbuka. Dia adalah anak kelas tiga yang menembak Tomoe pada hari terakhir... Dia memanggilnya Maesawa-senpai, pikirnya.

"Masukkan kepalamu!"

Tomoe memegang wajah Sakuta di antara kedua tangannya dan menariknya ke dalam.

"Dia mencarimu, bukan?"

"Kurasa begitu... tapi aku mengirimnya pesan kalau aku punya janji sekarang..."

"Janji? Tidak seperti dirimu," goda Sakuta.

"Itulah yang ku katakan."

Dengan kata lain, dia berbohong padanya.

"Berhentilah berbelit-belit, cepatlah ditembak."

"Bagaimana kau tahu tentang itu!?"

"Aku melihatmu terakhir kali."

Wajah kecil Tomoe tepat berada di depan Sakuta. Nafas yang keluar dari bibirnya yang merah muda mengkilap menggelitik pipinya dan dia pun bergeser sehingga tidak ada kontak di antara mereka berdua di tempat yang canggung.

Gerakan itu mengejutkan Tomoe dan dia sedikit menjerit seakan-akan dia ditusuk di tempat yang sensitif, tetapi penyebabnya berbeda. Itu hpnya yang bergetar di tangannya, lampu latar menyala bersama dengan pesan masuk.

"Permainan macam apa ini seharusnya?" Tanya Sakuta.

Berkonsentrasi pada hpnya, Tomoe tidak menjawab.

Sambil menunggu Tomoe selesai, tatapannya melayang ke bawah kemudian dia melihat roknya terangkat dan dia dapat melihat kain putih di pangkal kaki kanannya.

"Oi, Koga."

"Bentar."

"Aku bisa melihat pakaian dalammu."

"Sekarang bukan waktunya," dia mengabaikan peringatannya.

"Aku tidak mengerti perempuan," keluhnya.

Sepertinya, mengirim pesan jauh lebih penting daripada rasa moralnya. Tanpa ada pilihan lain, dia mengulurkan tangan dan memperbaiki roknya untuknya. Sekarang yang bisa dilihat hanyalah pahanya.

Sementara itu, tampaknya dia sudah selesai mengetik.

"Mengapa kita sembunyi?" Tanyanya.

Seharusnya tidak perlu bagi Sakuta untuk bersembunyi juga.

"Karena... Rena-chan menyukai Maesawa-senpai," jawab Tomoe dengan suara lirih, tatapannya mengatakan 'seharusnya kau mengerti sekarang'. Sakuta, di sisi lain, tidak mengerti sama sekali dan tentu saja menjawab dengan:

"Hah?"

Tomoe mengulangi perkataan Sakuta sebelum menanyainya.

"Bagaimana bisa kau tidak mengerti?"

"Karena kau tidak benar-benar menjelaskannya."

"Yah, um... aku sering pergi dengan Rena-chan untuk menonton latihan klub basket."

"Dan siapa itu Rena-chan?"

Dia mungkin seorang aktor yang terkenal atau apa.

“Temanku... Kashiba Rena-chan. Rena bilang dia ganteng dan... aku hanya setuju dengannya..."

Pada saat itu, Tomoe mulai bergumam.

"Dan kau adalah tipenya?"

"...Y-ya," katanya dengan anggukan pelan.

"Dan kau menyukainya?"

"Tidak... aku tidak suka cowok populer."

"Kalau begitu pergilah sana ditembak dan tolak dia."

Tidak perlu terus bersembunyi, dia hanya perlu menolaknya. Festival budaya sudah dekat, jadi akan cocok bagi seorang pria tampan yang terlihat tiba-tiba memulai sebuah band hanya untuk ditolak.

"Aku pasti akan dikucilkan! Dialah orang yang Rena-chan... temannya sukai, kau tahu? "

"Hah? Apa maksudnya, itu bukan berarti kau akan berpacaran."

"Sudah jelas aku tidak bisa ditembak olehnya."

"Aku tidak mengerti maksudmu."

"Aku berjanji pada Rena-chan kalau aku akan mendukungnya... dan kemudian jika aku ditembak, itu benar-benar akan mengacaukan hubungan kita," suara Tomoe menjadi serius, "seriusan, apa yang harus aku lakukan...?"

Wajahnya memucat dan terlihat seperti krisis baginya, dari lubuk hatinya.

"Apa kau memberinya tatapan cewek polos dan merayunya seperti itu?"

"Tentu saja tidak!"

"Kita akan ketahuan kalau kau berteriak."

Dia terkejut dan mundur ke belakang, meskipun sudah terlambat, menutup mulutnya dengan tangannya.

"P-pokoknya, kau mengerti sekarang, kan?"

Dia mengerti apa yang dikatakannya, tetapi tidak bisa memahami maksudnya.

"Tidak sedikit pun."

"Astaga, tidak ada gunanya berbicara denganmu!" Tomoe bangkit sambil emosi. Tapi tentu saja, mereka ada di bawah meja sehingga dia harus memperhatikan kepalanya.

"Ah, tunggu..."

Peringatan Sakuta sudah terlambat dan kepala Tomoe kejedot meja. Dampaknya cukup kuat sehingga mengangkat kedua kakinya, beranjak dari papan.

Tomoe terlalu lambat untuk mencapainya ketika dia sadar, tangannya berputar di udara, dan meja itu terjatuh dengan tabrakan yang dahsyat.

Tomoe sendiri jatuh, kakinya tersangkut di kaki Sakuta di mana dia berbaring di lantai dan Tomoe kehilangan keseimbangan, jatuh sambil menangis.

Refleks, Sakuta mengulurkan tangannya untuk menangkapnya. Dia sangat ringan, dan jelas tidak perlu khawatir mengenai berat badannya.

"Jujur saja, kau..."

[OLI Fan Translation] Seishun Buta Yarou Series - Volume 2


Dia ingin menyelesaikan perkataannya dengan 'tenang sedikitlah', tetapi tidak dapat mengakhiri kalimat tersebut, karena ketika dia bicara dia melihat seseorang.

Dia bertatapan dengan seorang lelaki di ambang pintu, anak kelas tiga yang dia lihat sebelumnya. Maesawa-senpai, yang tampaknya berada di klub bola basket.

Ekspresi lelaki itu tidak jelas, dengan sedikit kebingungan. Itu dapat dimengerti, dari sudut pandangnya, Sakuta dan Tomoe saling berpegangan di lantai di ruang kelas yang kosong.

“Jadi ini yang kamu maksud. Kau punya selera yang buruk."

Rupanya, dia sangat salah memahami kejadian ini. Selain itu, dia bersikap sedikit kasar.

"Tidak, itu bukan..." Sakuta berusaha menjelaskan, tetapi suaranya lebur ketika dia mendengar suara dari pintu lain ruangan ini.

Jantungnya berdebar kencang, reaksi bawah sadar menyertai kepanikannya. Nalurinya berteriak padanya.

Bahkan tanpa berbalik untuk memeriksa siapa yang membuat suara, Sakuta tahu, dia tahu betul.

Dengan putus asa, dia berbalik untuk melihat.

Tepat seperti yang ia pikirkan, Mai berdiri di sana.

Ada kantung kertas di tangannya, berisi makan siang yang dibuatnya untuk Sakuta. Dia bahkan tahu apa yang ada di dalam situ, ayam goreng bumbu, telur goreng, rumput laut dan kacang rebus, serta salad kentang yang dihiasi tomat ceri...

Dia tahu semua itu, tetapi dia juga yakin bahwa dia tidak akan bisa mencicipi makanannya kali ini dengan melihat mata Mai.

Dia tidak bergerak selangkah pun dari pintu dan melihatnya dengan tatapan dingin. Melihat dia memegang Tomoe... Melihat dengan ekspresi yang benar-benar membosankan...

"Bukan seperti itu," Sakuta berusaha mengatakan kebenarannya. Kegigihannya sedang diuji di sini, yang bisa dia lakukan hanyalah tetap tenang dan menjelaskan masalah sebenarnya tanpa berteriak.

Dia tidak memberikan jawaban.

Sakuta menatapnya tepat di mata, secara visual menyatakan tidak bersalah.

Tapi Mai berbalik tanpa kata-kata.

"Argh, tunggu, Mai-san!" Dia menangis, mendorong Tomoe ke samping dan bergegas berdiri. Mengabaikan tangisan rasa sakit Tomoe saat dia memukul kepalanya di atas meja di lantai, "Kumohon, biarkan aku menjelaskannya."

"Jangan bicara padaku, dasar penakluk lolicon."

Hanya kata-kata itu yang dia lontarkan padanya sebelum berjalan pergi.

"Argh, dia benar-benar marah."

Mereka pasti tidak akan makan bersama sekarang, dan menembak dan mengatakan sesuatu seperti 'ya, tentu' akan lebih sulit lagi.

Dia menghela nafas pasrah.

Ketika dia melihat pintu yang lain, Maesawa-senpai juga sudah pergi. Tomoe masih di lantai jadi dia mengulurkan tangan padanya.

"Ma-makasih."

Kemudia Sakuta meletakkan tangannya diatas kepalanya dan mengacak-ngacak rambutnya sebagai pembalasan.

"Wah! Hei!” Dia buru-buru menjauh darinya dan kemudian menyisir rambutnya dengan kedua tangannya, menata kembali sebelum menatap Sakuta. "Aku bangun jam enam dengan gaya itu, setiap hari!"

Cewek modis memang suka bangun subuh-subuh yah. Dia mengabaikan Tomoe dan menarik napas panjang.

Panik tidak akan membantu. Tidak ada gunanya marah tentang apa yang terjadi. Jika dia menganggap situasinya seperti itu, alaminya dia harus dapat menemukan solusi.

“Yah, terserahlah. Mungkin hari ini juga akan terulang lagi."

Sudah pasti kelihatannya Tomoe adalah Iblis Laplace, tetapi Sakuta tidak bisa benar-benar mengatakan bahwa mereka sendiri menyadarinya. Biasanya, mereka masih belum menemukan metode untuk mulai menyelesaikan masalah ini, jadi sejauh Mai pergi, jika besok... atau lebih tepatnya hari keempat berjalan lancar maka semua akan selesai. Dia hanya perlu berhati-hati agar dia tidak berakhir menahan Tomoe.

Tidak ada lagi yang dibutuhkan, itu adalah solusi yang luar biasa.

Tetapi pagi pun datang, Sakuta menyesali keputusan yang telah ia buat saat itu juga...