Chapter 6 - Bersamamu di Tempat yang Menyebalkan Ini


Kabut panas bergelombang di atas ubin lantai poliuretan.

Bulan Juli. Di atap sekolah saat siang bolong begini udara sangat panas dan lembab sehingga terasa kental.

Matahari saking teriknya sampai-sampai ketika aku duduk di tempat yang teduh di bawah tangki air, anginnya membawa udara panas padaku, jadi aku harus mengelap keringat yang terbentuk di alisku.

Tidak ada siapapun di sekitar sini. Meskipun hingga baru-baru ini tempat ini sangat populer sampai-sampai semua orang berjuang untuk kesini selama istirahat makan siang, sekarang musim panas sudah dimulai, tidak ada yang ingin datang lagi.

Sambil membuka kotak makan yang aku beli sebelumnya, aku melihat gedung klub.

Di dalam ruang musik, ruang seni, ruang kaligrafi yang redup ada beberapa anggota klub yang sedang berlatih dan juga makan siang.

Ketika aku sedang berpikir mereka adalah orang-orang dari dunia yang berbeda dariku,

"... Hmm?"

Aku merasakan ponselku bergetar di saku.

Aku mengeluarkannya dan melihat layar.

Namun, tidak ada pemberitahuan.

Mungkin hanya imajinasiku.

Seminggu berlalu semenjak aku berhenti menerima pesan dari Sudou dan Shuuji.

Sejak hari itu dengan Hiiragi, aku memutuskan semua kontak dengan tidak hanya Hiiragi, tetapi juga Sudou dan Shuuji.

Di sekolah, aku tidak berbicara dengan Hiiragi yang ada di depanku, dan jika Sudou dan Shuuji datang ke ruang kelas, aku pergi sampai mereka melakukan hal yang sama.

Ketika mereka berhasil mencegahku, aku mengatakan hal-hal yang kurang jelas lalu dengan cepat pergi. Saat istirahat makan siang, aku pergi ke tempat-tempat yang tidak dikunjungi orang lain, seperti saat ini.

Awalnya mereka mengirimiku banyak pesan setiap hari.



──Maaf, salahku karena mengatakan hal-hal yang seharusnya tidak kukatakan... aku ingin bicara, jadi tolong jawab...

──Bisa beritahu aku apa yang terjadi? Aku pikir sangat memalukan jika masalah ini terus berlanjut.

──Tidak masalah jika kau marah padaku, tapi setidaknya bisakah kau terus berteman dengan Tokki...?

──Sudou dan Hiiragi merasa sangat sedih. Bisakah kau kembali?



Dilihat dari pesan-pesan ini, mereka bertiga masih bersama. Mungkin mereka juga masih makan bersama saat istirahat makan siang. Di sisi lain, sepertinya Hiiragi tidak memberi tahu mereka tentang apa yang terjadi.

Juga, tampaknya Sudou merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Sudou tetaplah Sudou, dia pasti sadar kalau apa yang dia katakan adalah pemicu situasi ini. Meskipun sebenarnya, tidak ada satu hal pun yang harus ia pertanggungjawabkan.

Sedangkan aku, aku sama sekali mengabaikan pesan mereka.

Tidak ada hal yang ingin kubicarakan dengan mereka, aku juga tidak ingin mengatakan sesuatu.

Seperti itu, aku jadi menerima pesan lebih jarang, dan minggu lalu aku tidak menerima apa pun.

"Kembali, kah..." Aku keceplosan mengucapkan kalimat itu ketika aku mengingat-ngingat pesan Shuuji sambil memakan roti manis.

Aku hampir tidak bisa merasakan rasanya karena krimnya yang sangat lengket disebabkan oleh panas.

Bagaimana bisa aku kembali?

Bagaimana bisa aku berbicara dengan Hiiragi lagi setelah menyakitinya seperti itu?

Pada akhirnya, semuanya kembali seperti semestinya.

Hidup dengan tenang tanpa terlibat dengan siapa pun. Seperti yang ku harapkan saat pertama masuk SMA. Setelah melalui sesuatu yang sangat menyakitkan, aku akhirnya menyadari tempatku.

Aku memasukkan sedotan ke botol karton jusku sambil mengeluh.

Namun, aku tidak berhasil menembus bagian yang elastis, dan sedotannya pecah di tengah.






"Hei, sudah cukup lama ga ketemu."

Di perjalanan pulang dari sekolah.

Ketika aku sedang membaca buku di toko buku, aku mendengar suara yang aku kenal dari belakang.

Terkejut, aku pun berbalik. Seorang wanita tinggi dengan figur tubuh yang penuh dengan sensualitas dan mengenakan gaun hitam serta sandal coklat muda, adalah Hiiragi Tokoro, sedang berdiri di sana.

"... H-halo."

Aku melangkah mundur dan secara refleks melihat ke bawah.

Saat ini, "Usia 14 Tahun" adalah simbol dari memori yang menyakitkan. Jadi menemui penulisnya sedikit canggung.

Tapi,

"Kebetulan sekali, aku sudah lama ingin bertemu denganmu," ucap Hiiragi Tokoro tersenyum lebar sambil melihatku. "Maksudku, kau tidak memberi tahuku alamat atau cara menghubungimu. Aku hanya tahu kau menyukai buku. Jadi setiap kali aku datang ke toko buku ini aku selalu kepikiran kalau kau bisa saja ada di sini."

Kenapa yaa? Nada suaranya sudah sepenuhnya melewati titik mood yang bagus, dia terdengar sangat bersemangat.

"... Kau terlihat senang."

"Tentu saja, kau sadar. Memang, lagipula, aku suka toko ini. Aku merasa senang hanya dengan berada di sini, kau bahkan bisa bilang kalau aku cinta toko ini.”

Hiiragi Tokoro berputar layaknya menari, membuat gaun bagian roknya berkibar.

"Lihat saja sekeliling. Ada mahakarya dari yang sudah lama sampai yang baru, bahkan hit terbaru ada di rak-rak buku ini. Kau bisa merasakan cinta yang tertuang pada buku-buku dari pilihan ini."

"... Kalau kau bilang begitu."

"Ditambah, toko ini..." mulai Hiiragi Tokoro, kemudian mendekatiku, mulutnya dekat dengan telingaku, dan berbisik. "Mereka meletakkan buku-buku ku di sisi mesin kasir supaya lebih terlihat oleh pembeli..."

"... Haa," aku menghela nafas secara refleks.

Di situasi saat ini, berbicara dengan seseorang yang punya semangat tinggi seperti itu agak sulit. Yahh, kita tidak punya hal untuk dibicarakan, jadi aku pergi saja dari sini dengan cepat.

"Kalau begitu, aku duluan..." ucapku, berusaha melewatinya.

Tapi,

"Fufufu, tunggu sebentar."

Hiiragi Tokoro menghalangi jalannya

"Bukannya aku tadi bilang ingin menemuimu untuk sebentar?"

"... Butuh sesuatu dariku?"

"Tentu, lebih dari apapun. Apa kau punya sedikit waktu sesudah ini?"

"... Punya, meskipun tidak mau."

"Dinginnya... Tapi kau tahu, aku punya sesuatu yang penting yang ingin dibicarakan."

"Ini penting?"

"Memang. Sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaanku. Jadi aku harap kau bisa meluangkan waktu untukku."

Jika dia bilang begitu, tentu saja akan sulit bagiku untuk menolaknya.

Aku masih enggan, tapi mungkin paling tidak aku harus mendengarkan apa yang ingin dia katakan.

"Yahh, kalau cuma sebentar..."

Disaat aku setuju, Hiiragi Tokoro mengangkat ujung mulutnya, membentuk sebuah bulan sabit.

"Itu baru semangat."

Dia mulai berjalan menuju pintu keluar.

"Ayo. Aku akan mentraktirmu makan malan."






Kita sekarang berada di restoran Italia yang cozy di daerah perumahan.

Disini bahkan kursinya tidak sampai sepuluh, dan interiornya diterangi dengan warna-warna lembut. Selain kita disini ada tiga pengunjung lain.

Rupanya Hiiragi Tokoro langganan disini. Setelah menyapa mbak-mbak penjaga toko, dia memberiku menunya.

"Kau mau minum apa? Aku tidak keberatan meskipun kau ingin bir atau wine."

"... Eto, aku masih belum cukup umur, tahu."

"Aku tahu, cuman bercanda. Ini menu untuk minuman ringannya. Kau juga bisa memesan air dingin."

"Kalau begitu air dingin..."

Hiiragi Tokoro memesan wine dan beberapa makanan.

"Kalau begitu, bersulang atas reuni kita."

"... Cheers."

Aku mendetingkan gelasku setengah hati, dan mengambil biskuit di antara hidangan pembuka yang dibawakan kepada kami.

Ada liver pâté (atau semacam pasta) di atasnya, dan rasanya merupakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

"Jadi, tanpa lama-lama," Hiiragi Tokoro memulai dengan wajahnya yang memerah ketika hidangan datang. Sepertinya dia sudah agak mabuk.

"Hari ini aku ingin mengkonfirmasi sesuatu, dan membicarakan sesuatu denganmu."

"… Tentang apa?"

"Pertama, hal yang ingin aku konfirmasi," ucapnya, memandangi anggur di gelasnya. "Aku dengar dari Tokiko kalau sekarang kau menjaga jarak."

... Tentu saja, dia akan bertanya tentang itu.

Aku sudah menduganya, tapi tetap saja, hanya mendengar namanya saja membuatku sakit.

"… Itu benar."

“Sayang sekali. Aku pikir kau menyukainya..."

"... Maaf karena tidak memenuhi harapanmu."

"Mengapa kau memutuskan untuk menjaga jarak?"

"... Hiiragi tidak mengatakan apa-apa?"

Aku yakin dia menceritakan segalanya. Ketika terakhir kali aku bertemu dengannya, dia menunjukkan betapa sayangnya ia pada adik perempuannya, jadi kupikir dia akan ikut campur jika dia melihat Hiiragi bertingkah aneh.

Dan sebenarnya, seperti yang kukira,

"Tentu saja dia mengatakannya," kata Hiiragi Tokoro seolah itu bukan apa-apa. "Tapi aku ingin mendengarnya dari mulutmu langsung."

... Kenapa dia ingin sekali membongkar perasaanku seperti itu? Aku kesulitan memahami apa yang dia pikirkan.

Yahh, kurasa dia tidak bisa diam saja sebagai kakak perempuan. Lalu aku punya kewajiban untuk berbicara. Dan dia mentraktirku makan malam, aku tidak bisa diam saja seolah-olah tidak ada yang terjadi.

"... Dari awal juga itu sudah mustahil bagiku," kataku, sambil berpikir kalau aku cukup kasar mengatakannya. Tapi itulah yang benar-benar ku pikirkan. "Aku suka Tokiko... yang dari 'Usia 14 Tahun'. Itu sebabnya aku tidak tahan menyaksikan Hiiragi berubah... aku benar-benar melakukan sesuatu yang buruk padanya."

"Hmm," Hiiragi Tokoro mengambil zaitun, "yahh, kau benar, Tokiko berubah. Bisa dibilang itu adalah batas 'Usia 14 Tahun'. Buku itu hanya tentang dia yang 'Berumur 14'. Ditambah," Hiiragi Tokoro melemparkan zaitun yang dia ambil ke mulutnya, "apa yang aku tulis dalam novel itu hanya sebagian dari dirinya. Ada banyak sisi darinya yang ingin aku tulis tapi tidak bisa kutulis karena cerita."

"… Contohnya?"

Aku sedikit tertarik.

Ketika aku bertemu dengannya, setidaknya, Hiiragi seperti Tokiko di mataku. Jika dia masih memiliki sisi dirinya yang dia sembunyikan, maka sebagai pembaca "Usia 14 Tahun", tentu saja itu akan membangkitkan ketertarikanku.

"Contohnya, dia sangat ceroboh."

"C-ceroboh ...?"

"Memang. Aku yakin dia tidak pernah menunjukkan sisi itu di depanmu, bukan?"

Seperti yang dia katakan.

Hiiragi lemah lembut dan sopan... Dia tidak pernah terlihat seperti ceroboh.

“Beberapa waktu yang lalu, kau dan temanmu pergi ke rumah kita, bukan? Yahh, sehari sebelumnya adalah bencana. Kamar tidurnya biasanya berantakan sepertiku. Meskipun aku harus bersiap-siap untuk rapatku, dia membuatku membantu merapikan kamarnya.”

"B-benarkah...?"

"Juga, aku yakin kau pikir dia pendiam, bukan?"

"… Iya."

“Tapi kenyataannya, ketika dia bicara, dia benar-benar bicara. Itu sebabnya, sejak dia masuk SMA, aku mendengar banyak hal tentangmu. 'Hosono-kun bilang itu', atau 'kita pergi ke sana bareng Hosono-kun' dan semacamnya. Aku tidak tahan dengan keimutannya saat aku mendengarkan..."

"Be... gitu..."

Dari sudut pandangku, dia adalah tipe orang yang membaca buku dengan tenang dan hanya duduk di kursinya. Tidak berinteraksi dengan siapa pun, dan ketika seseorang mendekatinya, dia tidak akan menunjukkan banyak reaksi. Aku tidak bisa membayangkan dia berbicara sebanyak itu dengan keluarganya.

“Ada yang lain juga. Misalnya, dia punya selera yang kekanak-kanakan. Dia suka es krim murah, mayones, pisang, dan semacamnya. Selain itu, dia tidak hanya membaca literatur, tapi juga manga. Dia sering datang ke kamarku untuk meminjam manga. Omong-omong, dia juga sering meminta hal-hal yang egois. Seperti menyuruhku untuk membelikannya sesuatu yang bisa di minum di tengah malam. Dan juga ..." Hiiragi Tokoro tersenyum lebar. "Dia sangat tertarik pada hal-hal mesum, tahu."

Aku tidak tahu harus bereaksi apa.

Tentu saja itu mengejutkanku dan aku jadi salting, tapi aku tidak bisa menunjukkannya di wajahku.

"Fufufu ... Kaget, bukan? Dia terlihat rapi dan bersih, tapi sebenarnya dia agak mesum tertutup. Dia pergi secepat dia datang ketika dia meminjam manga dengan sampul semacam itu. ... Ngomong-ngomong, kembali ke subjek, aku tidak menulis tentang sisi-sisi ini di dalam ‘Usia 14 Tahun’. Dan Tokiko sendiri berusaha untuk menyembunyikannya. Hanya untuk membuatmu melihatnya sebagai Tokiko dan terus berteman dengannya. Bahkan, dia mulai memakai hiasan rambut giok setiap hari meskipun sebelumnya dia tidak memakainya, dan mungkin sebagai semacam revisi dia juga membaca ulang 'Usia 14 Tahun' berkali-kali," katanya, tertawa.

"... Dia melakukan hal-hal semacam itu...?"

"Memang. Itu sebabnya, tidakkah kau pikir dia saat berada di depanmu, dia terlalu seperti Tokiko?"

Mendengar hal itu, aku mulai ingat.

Seperti yang dia katakan, Hiiragi mempertunjukkan padaku kalau dia adalah Tokiko di setiap kesempatan, bahkan sampai mengatakan kalimat yang sama.

──Bilang dia egois saat meminta bantuanku hari itu.

──Selalu memakai taman di daerah perumahan ketika bertemu.

──Bilang kalau pengetahuan itu akan membuatnya memonopoli saat aku memberitahu masa laluku.

──Diajak ke kafe kuno bergaya Jepang saat kencan kita.

Bukan itu saja. Berkali-kali dia mempertunjukkan kalau dia adalah Tokiko, dan aku tidak meragukannya.

"Itu sebabnya, selama kalian berdua menggunakan Tokiko dari 'Usia 14 Tahun' sebagai perantara untuk berteman, tak terelakkan kalau hal yang menyimpang akan muncul."

Aku yakin Hiiragi juga cemas.

Apa yang kuinginkan bukanlah Hiiragi melainkan Tokiko. Itu sebabnya, alih-alih muncul sebagai dirinya sendiri, dia terus memainkan peran Tokiko di depanku.

Sekarang akhirnya aku mengerti kenapa Sudou bilang hubungan kita berbahaya.

"... Seperti yang kukira," ucap Hiiragi melihatku yang sedang menggigit bibirku. "Tentu saja kau akan membuat wajah semacam itu."

[OLI Fan Translation] Bokukano Korekara Chapter 6


"... Tentu saja."

Mustahil bagiku tidak merasa buruk setelah mendengar semua itu.

Dia pikir memang aku harus memasang wajah seperti apa?

"Seperti yang kuduga, ini jadi tambah rumit. Yahh, kurasa ini bisa dimengerti... Tapi kau tahu," Hiiragi Tokoro meletakan cangkirnya dan tersenyum, "Aku tahu cara menyelesaikan masalahmu dengan mudah."

Matanya tertuju langsung pada mataku.

Meskipun bentuk matanya mirip dengan adik perempuannya, aku merasa mereka memiliki kepercayaan diri yang orang lain tidak punya.

Namun, aku tidak percaya ada cara seperti itu.

Hubunganku dengan Hiiragi memang melengkung dari awal, hanya menggunakan Tokiko sebagai perantara, tidak mungkin ada cara untuk menyelesaikan masalah itu "dengan mudah".

Namun, pikirku.

Namun, orang ini adalah penyihir. Dia adalah penyihir dengan kekuatan aneh yang memenjarakan Hiiragi Tokiko berumur 14 tahun ke dalam sebuah novel.

Jadi, mungkin, dia benar-benar tahu cara untuk menyelesaikan masalah kita...

"... Bagaimana caranya?" tanyaku tegas.

"Mudah saja untuk dijelaskan. Lagipula, solusinya sangat sederhana," ucap Hiiragi Tokoro, tidak menyembunyikan senyuman mendominasinya sambil berlagak. "Tapi akan sia-sia melakukannya. Lagipula, itu tidak ada artinya jika kau tidak menemukan sendiri caranya. Begitulah caranya."

"... Kau tidak ingin memberitahuku?"

"Tidak akan, berusahalah menemukannya sendiri."

Sangat mengecewakan, aku bahkan tidak bisa menghela nafas.

Mungkin dari awal sudah salah aku mengharapkan sesuatu darinya. Mungkin dia mengajakku makan malam hanya karena dia senang mempermainkanku.

"Tapi aku sungguh berharap kau bisa menemukannya, tahu. Buat adikku, dan buatmu sendiri... Pokoknya, itu saja hal yang ingin aku konfirmasi. Sekarang, tentang apa yang ingin kubicarakan."

"... Apa?" jawabku kasar karena aku ingin cepat-cepat pulang.

Tapi,

"Aku menyelesaikan draf naskah untuk sekuelnya."

Sekuel.

Secara refleks aku duduk kembali mendengar hal itu.

Sebenarnya, itu selalu ada di sudut pikiranku. Sekuel dari "Usia 14 Tahun", kehidupan Tokiko setelah masuk SMA. Bagaimana nanti naskahnya ya?

"... Ah, mungkin kau tidak mengerti apa maksudnya draf. Kau tahu, seri 'Usia 14 Tahun' menggunakan prosedur menulis yang sedikit spesial. Biasanya, kau menulis alurnya dan begitu editor memberikan OK kau bisa menulis naskahnya. Tapi seri ini menggunakan kehidupan Tokiko sebagai model. Jadi pertama aku harus mendengarkan hal-hal yang terjadi pada Tokiko, lalu memilah apa yang ingin aku gunakan. Kemudian dari situ aku membuat cerita yang cocok dengan keaadan mental Tokiko. Maksudku tentang draf itu begitu. Aku menunjukkanya pada editor dan Tokiko, dan jika mereka tidak keberatan aku bisa mulai menulis."

"Be, gitu..."

Singkatnya, saat ini Hiiragi Tokiko punya draf tentang "segala sesuatu yang terjadi pada Tokiko dimulai dari masuk SMA sampai sekarang".

Aku penasaran akan jadi seperti apa itu nantinya.

Terakhir kali dia bilang aku akan muncul di sekuelnya. Maka mempertimbangkan situasi yang sebenarnya, aku penasaran orang jahat macam apa nanti aku digambarkannya.

Aku menjadi murung hanya dengan membayangkannya saja.

"Tidak perlu membuat wajah seperti itu," Hiiragi Tokoro tertawa melihatku menundukkan kepalaku. "Jangan khawatir, aku tidak menulismu secara buruk. Seperti yang ku katakan terakhir kali, aku tidak bisa lanjut tanpa izinmu. Kau adalah karakter kunci, jadi jika kau keberatan, aku pikir aku harus menulis ulang semuanya. Itu sebabnya aku ingin kau membaca drafnya dan memberikan izinmu sebelum aku melanjutkan ke langkah berikutnya."

"Be, gitu…"

“Jadi, bisakah kau melakukannya? Setidaknya, aku pikir ini layak dibaca."

Kupikir ini suatu kehormatan besar.

Untuk muncul di dalam karya penulis favoritmu, dan bahkan punya hak untuk membaca drafnya. Ini adalah hal yang hanya bisa diimpikan oleh pencinta buku.

Namun, entah kenapa aku tidak bisa merasa antusias.

Aku mengerti kalau Hiiragi Tokoro memerlukan izinku sebagai salah satu model karakter.

Tapi, aku dapat apa dari membacanya?

Aku telah memutuskan hubunganku dengan Hiiragi. Terlebih, berkat itu pula aku bahkan tidak bisa menikmati "Usia 14 Tahun" seperti yang sebelumnya.

Mempertimbangkan hal itu, aku tidak punya alasan kenapa aku harus repot-repot membaca sebuah cerita tentang kegagalanku.

Dan,

"… Mungkinkah…"

Aku sadar.

"Kau mencoba membuatku membacanya untuk bisa berdamai dengan Hiiragi?"

"... Oh," Hiiragi Tokoro mengangkat alis kanannya, "apa maksudmu?"

“... Alasan aku memutuskan hubunganku dengan Hiiragi adalah karena dia berubah dari saat ia menjadi Tokiko. Jadi sebaliknya, jika Tokiko menjadi dirinya... Jika dia menjadi Hiiragi yang sekarang, maka kau pikir kita bisa kembali ke hubungan kita yang dulu?"

Benar, mungkin kita bisa melakukan itu.

Jika Tokiko menjadi Hiiragi yang sekarang, dengan membaca drafnya, mungkin kita bisa kembali ke awal aku bertemu dengannya di bulan April. Dengan mengenal Tokiko, aku bisa menggunakan pengetahuan itu untuk berinteraksi dengan Hiiragi. Seperti ini, kita mungkin bisa kembali ke hubungan kita yang dulu.

Tapi,

"Itu bukan hubungan yang normal."

Sekarang, aku bisa menyatakannya dengan jelas.

Hubungan seperti itu tidak sehat.

"Jika cerita itu dibuat hanya supaya kita bisa memahami perasaan satu sama lain, maka aku yakin salah satu, atau kita berdua akan terluka suatu hari. Jadi jika tujuanmu adalah untuk membuat kita berdamai, maka aku tidak bisa membacanya."

"… Begitu. Yahh, aku sudah mengira kau akan berpikir seperti itu di situasi ini,” ucapnya, sambil meneguk anggurnya. "Tapi jangan khawatir, aku tidak mengharapkan hal itu. Tokiko juga tidak akan menyukainya."

"Hmm... Yahh, kau benar."

"Namun," ucapnya, tersenyum, "Aku memang berharap dengan membaca ini kau dapat mengerti apa maknanya berinteraksi dengan Tokiko-nya langsung. Dan, aku sendiri, ingin kau membacanya. Aku bisa bilang kalau aku cukup menyukai apa yang kulakukan kali ini. Paling tidak, aku pikir ini adalah karya terbaikku."

"Begitu…"

Rasanya seperti dia sedikit demi sedikit mengapuskan alasanku untuk menolak. Jika hal ini terus berlanjut, aku benar-benar akan membacanya.

Namun, ada hal lain di pikiranku.

"... Bagaimana dengan Hiiragi?" Tanyaku gugup. "Aku sekali lagi akan mengetahui perasaan Hiiragi lewat novel ini, bukan? Perasaan sejatinya yang tidak dia ungkapkan. Kau sudah dapat izin dari Hiiragi?"

"Tentu saja," Hiiragi Tokoro mengangguk.

Lalu dia menambahkan,

"‘Kita dipertemukan oleh cerita' dia bilang," kata Hiiragi Tokoro perlahan dengan senyuman kasihan namun penuh cinta. "‘Kita dipertemukan oleh cerita, jadi perpisahan kita juga harus dilakukan oleh cerita’."

Kalimat itu menusuk hatiku.

Itu kalimat yang sudah pasti akan dikatakan Hiiragi. Apalagi kata "perpisahan" nya...

Aku bisa membayangkan Hiiragi ketika dia mengucapkan kalimat itu.

"Dia mengatakan hal yang lucu," kata Hiiragi Tokoro. Ekspresinya berbeda dengan yang ia buat daritadi, melainkan seperti seorang ibu pada anaknya. “Anak itu sangat menggemaskan dan berharga bagiku. Itu sebabnya, sebagai kakaknya, aku mohon padamu. Kali ini juga aku menulis sambil berbicara dengannya dengan teliti. Aku merevisinya berulang kali sampai dia sendiri yang bilang kalau itu menggambarkan perasaannya dengan sempurna. Tentu saja, aku tidak menulis semua tentangnya, aku tidak seangkuh itu. Namun, aku yakin draf itu akan berhasil memainkan perannya sebagai surat perpisahan. Jadi kumohon──”

Aku mengangkat wajahku dan menatap Hiiragi Tokoro.

Untuk pertama kalinya, aku melihat dia membuat ekspresi serius dan sungguh-sungguh.

"Bisakah kau membacanya?"






Setelah berpisah dengan Hiiragi Tokoro, aku pulang, mandi, dan ketika aku kembali ke kamar sudah jam 8 malam.

Aku duduk di kursi di depan mejaku sambil menghela nafas. Aku melihat pemandangan seperti biasa, jam fosfor di dinding, rak-rak buku dengan warna alami, lemari dengan banyak tempelan stiker, pipa-pipa berbentuk talang di kaki kasurku.

Untuk menyibukkan diri, aku memungut Shishamo yang sedang berguling-guling di lantai dan mulai mengusapnya di pangkuanku. Tapi rupanya dia sedang tidak mood, Shishamo mengerang kemudian lari ke bawah tempat tidur.

Tidak ada PR yang harus dikerjakan, dan besok adalah hari Sabtu, jadi aku tidak perlu menyiapkan tasku.

Aku sudah membaca semua buku di rak bukuku, dan tidak ada program TV apa pun yang ingin aku tonton.

Tidak ada situs web yang ingin aku periksa, dan tentu saja, tidak ada pemberitahuan dari LINE.

Singkatnya, aku tidak punya hal lain untuk dilakukan selain itu.

Pasrah, aku mengambil nafas dalam lalu membuka laptopku di meja dan memeriksa email. Di bagian atas kotak masuk ada email dengan file terlampir dari alamat yang tidak aku kenali. Aku meng-klik email itu untuk membacanya.



Hey, selamat malam. Aku Hiiragi Tokoro. Aku kirimkan kau filenya. Enjoy.



Aku membuka dokumen yang terlampir. Ada 40 halaman dengan format dua halaman terpisah. Setelah memeriksa apakah kertas dan tintanya cukup, aku mencetaknya.

Setelah lima menit cetakannya beres, menghasilkan kertas-kertas yang bagus. Aku mengambil nafas lagi.



"Usia 15 Tahun - Draf ver.1"



Adalah judul filenya yang tertulis di halaman pertama.

Sebuah cerita mengenai kehidupan Tokiko setelah berumur 15.

Cerita ini pada dasarnya menelusuri kembali apa yang terjadi pada Hiiragi, tapi ada satu hal yang sangat berbeda. Dalam ceritanya, Tokiko bukan tokoh utama dari buku ini, sebaliknya dia kehilangan diari tempat ia menulis kesehariannya, dan seorang anak lelaki menemukannya dan membacanya.

Apa yang akan terjadi setelah aku membacanya.

Tumpukan kertas tebal di tanganku ini membuatku merasakan kegelisahan yang aneh.

Kemungkinan besar, jika aku membacanya, perubahan besar akan terjadi dalam diriku. Aku tidak tahu apakah itu positif atau negatif. Tapi, jika aku membacanya, tidak ada jalan kembali, aku punya firasat seperti itu.

Namun, seharusnya aku tidak lari lagi.

Aku harus membacanya.

Jika Hiiragi menganggap "Usia 15 Tahun" sebagai surat perpisahan yang ditujukan padaku, maka aku ingin membacanya.

Aku menarik napas dalam-dalam lagi, lalu membalik halaman pertama dengan judul yang tertulis di situ.






Ini adalah kisah dari keseharianku, dimana masih tidak ada hal istimewa yang terjadi.



Bahkan aku masih percaya ilusi bahwa sesuatu akan berubah saat masuk SMA.

Mungkin aku akan menjadi sedikit lebih dewasa. Mungkin aku akan lebih bijak dan memahami sesuatunya lebih baik lagi.

Namun, harapanku terbuang percuma, dan aku kehilangan diari ku di hari pertama sekolah.

Aku menulis segala hal yang terjadi padaku dan pemikiranku ke dalam diari ku tiap harinya. Aku tidak menulis namaku, ataupun nama orang lain, jadi seharusnya tidak mungkin ada yang tahu kalau diari itu milikku.

Namun, karena hal itu, mustahil untuk diari ku bisa kembali lagi padaku. Aku mengutuk kebodohanku.



Keseharianku hanyalah sebuah sambungan dari kehidupanku yang kujalani di SMP.

Aku tidak bisa mengobrol dengan teman sekelasku, dan hanya menghabiskan sepanjang waktu istirahat membaca buku.

Aku pikir ini tidak apa-apa. Semua orang tidak perlu ceria, akupun tidak mau seperti itu. Hanya saja aku merasa menyesal telah menghancurkan mood teman sekelasku yang berusaha berbicara padaku.



Aku tidak begitu tertarik pada anak itu.

Dia membuat pengenalan diri yang lebih datar dari siapapun. Tingginya rata-rata. Rambutnya sedikit berantakan, dan mukanya biasa saja. Sungguh, hanya itu yang ada padanya.



"Apa novel kesukaanmu itu 'Mengembara di Alam Indra Ke-Tujuh' dari Ozaka Midori?"

Ketika dia menanyakan itu padaku, aku jadi bingung.

Dan bukan hanya itu saja,

"Kau punya lukisan cat minyak di kamar yang kau terima dari nenekmu?"

"Setiap minggu kau mendengarkan siaran radio yang dibuat oleh sekumpulan mahasiswa universitas?"

"Apa kau pikir kau ingin hidup dengan indah?"

Setelah mendengar itu semua, akhirnya aku mengerti. Dia menemukan diari ku.



Bahkan setelah pulang ke rumah aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

Tidak kusangka dia sangat bersimpati padaku, ini pertama kalinya seseorang mengutarakan niat baiknya padaku dengan sungguh-sungguh.

Namun, mungkin kita tidak akan berbicara lagi. Kita berdua bukan tipe orang yang berinteraksi dengan orang lain. Ketika aku sedang memikirkan itu, aku menyadari sesuatu yang bahkan aku sendiri pun terkejut.

Aku tidak ingin berhenti.

Aku ingin terus berbicara dengannya.



Seperti yang kuharapkan, dia berulang kali membantuku saat aku kesulitan berbicara dengan orang lain.

Dia orang pertama selain keluargaku yang sering kuajak bicara.

Namun, aku juga merasa bersalah.

Kenyataannya, aku tidak peduli dengan diriku yang tidak bisa mengobrol dengan teman sekelasku.

Dan lagi, karena aku hanya ingin berbicara dengannya, aku mengambil keuntungan dari kebaikannya untuk diriku sendiri.



Mulai dari sini, kupikir aku harus mendekat secara alami.

Aku sudah berbohong sekali, tapi aku tidak ingin lagi menggunakan tipu muslihat untuk lebih dekat dengannya.

Namun, di suatu pagi, sepasang lelaki dan perempuan datang menemuinya dan ketenanganku menghilang.



Aku terkejut. Mereka terang-terangan berbicara padanya meskipun dia tidak ingin, dan walaupun mereka marah karena diabaikan dan diperlakukan dengan dingin, mereka masih terus berbicara padanya. Dari apa yang kudengar, sepertinya mereka berdua adalah teman masa kecilnya.

Aku berpikir aku seharusnya tidak melakukannya.

Namun, aku tidak puas hanya menunggu untuk lebih dekat dengannya secara alami. Kalau begitu aku juga harus mendekatinya lebih tegas lagi.



Di jalan pulang dari karaoke, aku sadar betapa lelahnya diriku. Bertingkah sebagai seseorang yang berbeda dari diriku yang sebenarnya sungguh membuat mentalku lelah.

Sambil jalan terhuyung-huyung, aku ingat tentang smartphone ku.

Sebelumnya LINE dipasang di smartphone ku. Meskipun aku hanya menggunakan ponselku untuk memeriksa rilisan baru, sekarang itu menjadi koneksi antara kita.

Lalu kupikir. Jika aku bertukar pesan dengannya, mungkin aku akan memperoleh kepercayaan diriku kembali.



Jika aku harus memberi alasan untuk mengundang mereka ke rumahku, maka sudah pasti itu kecemburuan.

Mereka kenal satu sama lain sejak masih kecil, termasuk hal pribadi masing-masing.

Tapi aku hampir tidak tahu apapun tentangnya. Satu-satunya hal yang kutahu tentangnya adalah dia menyukai diari ku. Kesenjangan hubungan kita sangat menyakitiku.



Aku sangat senang aku bisa berbicara dengan mereka berdua.

Aku mengerti mereka orang yang baik, tapi aku hanya tidak bisa lebih dekat dengan mereka.

Di akhir, aku hanya cemburu mereka adalah teman masa kecilnya.

Aku iri mereka memiliki segala hal yang tidak kumiliki, dan fakta mereka bisa dengan mudahnya mendekatinya.

Tapi kenyataannya mereka sama sepertiku. Mereka bukan sekedar orang populer yang tidak peduli apapun. Sepertiku, mereka juga punya masalah tentang keluarga mereka masing-masing, seorang murid SMA biasa.



Saat aku melihatnya membicarakan masa lalunya, hatiku berdetak begitu kencang kupikir dadaku akan meledak.

Kegagalannya saat masih kecil. Lalu perubahan yang terjadi pada dirinya.

Dia memberitahuku, dan hanya aku, tentang segala hal yang terjadi padanya sampai sekarang.

Pemandangan sekitar tidak pernah terlihat begitu berwarna bagiku sampai sekarang.

Walaupun dia hanya membicarakan kenangan buruknya padaku.



Saat ia selesai bicara dan aku melihat wajah tersenyumnya, aku pun sadar.



Aku ingin memegang tangannya.

Aku ingin menyentuhnya.

Aku ingin dia memelukku, aku ingin dia menciumku.

Aku ingin dia berpikir kalau aku berharga sama sepertiku yang selalu memikirkannya.



──Aku mencintainya.



Aku memilih kafe dengan suasana yang bagus dekat rumahku untuk kencan kita.

Aku pergi beberapa kali untuk mengamati kafe dan memeriksa menunya. Kafe itu punya buku yang mungkin dia akan suka, jadi aku yakin dia akan senang disini.

Aku menjaga rahasia kalau aku sudah pergi kesana. Aku harus bersikap kalau ini pertama kalinya aku datang.

Yang tersisa adalah mengatur sedemikian rupa supaya kita bisa membicarakan romansa secara alami, seperti yang disarankan kakakku.



Saat aku sedang membaca di sebelahnya, aku penasaran apa yang ia pikirkan terhadapku.

Aku tidak berpikir ia membenciku. Lagipula dia memuji diari ku, dan kita disini pergi berdua, jadi setidaknya dia pasti punya sedikit perasaan padaku.

Tapi aku tidak mengerti apakah perasaannya sama seperti yang kumiliki.

Jadi aku ingin membuktikannya. Meskipun aku harus sedikit kasar.



Mungkin jatuh cinta membuatku jadi tak berdaya.

Aku menjadi egois, dan hanya memikirkan hal-hal yang jorok dan memalukan.

Aku tidak bisa hidup dengan indah lagi.

Ini salahnya.

Jika aku tidak bertemu dengannya, aku pasti tidak akan pernah mengenal perasaan itu.



"Aku bisa jadi pacarmu."

Begitu aku mengucapkan itu, jantungku berdetak begitu dahsyat kupikir akan meledak.

Kupikir siapa saja yang mendengar itu pasti akan beranggapan kalau itu hanyalah sebuah pengakuan cinta. Jika itu mereka berdua misalnya, aku yakin mereka bisa memahami semua perasaan yang tersembunyi dibalik kalimat itu.

Namun, dia bodoh jadi dia mungkin tidak menyadarinya.

Lagipula, meskipun aku berusaha keras sampai sekarang, dia tidak pernah menyadari perasaanku. Aku yakin dia tidak begitu bagus dalam menyadari suatu hal.

Apapun itu, dengan melihat reaksi dia selanjutnya aku seharusnya bisa menebak perasaannya padaku.

Apa dia hanya memikirkanku sebagai teman? Atau dia melihatku sebagai seseorang dari lawan jenis?

Dan ketika aku sedang memikirkan itu.



"Aku tidak bisa berada di sisimu lagi."



Rasanya waktu terhenti.

Aku tidak bisa bernafas. Tapi, hatiku tetap berdetak sangat kencang seolah-olah itu hanyalah kebohogan.

Apa ini mimpi? Atau sebuah ilusi?

Pikirku, tapi saat aku menggenggam tanganku dengan erat, aku merasakan sakit dari kuku yang menyentuh telapak tanganku.



"Kau berubah dari dirimu yang ada di diari."

"Itu sebabnya, aku tidak bisa bersamamu lagi."



Aku pikir ini adalah hukumanku.

Hukuman untukku yang menggunakan diari dan kebaikannya demi cinta busukku.

Aku menipunya.

Agar disukai olehnya, aku membuat diriku tampak simpatik.

Dengan bersikap seperti Tokiko di diari, aku mengambil keuntungan darinya.

Itu hanya makanan penutup atas apa yang aku lakukan.



Aku berdiri dari bangku dan mengucapkan selamat tinggal.

Begitu aku mulai berjalan, air mata berjatuhan dari mataku.

Semuanya berakhir.

Cinta pertamaku, hubungan berharga ini, kehidupan sekolah yang ku dambakan untuk pertama kalinya.



Aku punya firasat.

Malam itu di hari yang sama, aku merasa dia sedang menungguku di taman kita biasa bertemu.

Aku mengganti pakaianku menjadi sesuatu yang hampir tidak bisa disebut pakaian main, mengenakan sendal, mengambil tas kecil dan pergi meninggalkan rumah. Aku pergi menuju taman di jalan malam hari.



Seperti yang kau duga, tentu saja, dia tidak menungguku di taman.

Taman itu, yang diterangi lampu jalan dan sinar bulan yang redup, kosong. Sama seperti bagaimana perasaanku saat ini.

Setelah bertemu dengannya, aku memperoleh banyak perasaan.

Kebahagiaan, kesenangan, penderitaan, kesedihan.

Dan sekarang, setelah dia menghilang, rasanya semua perasaan itu ikut menghilang.

Aku duduk di kursi tempat dia menungguku saat kencan pertama kita.

Lalu aku mengeluarkan diari ku dari tas dan pelan-pelan meletakannya di sampingku.

Seperti halnya kau menggunakan botol yang berisi surat tempat kau menuliskan perasaanmu saat mengirimnya ke laut.



Saat aku melihat ke atas, bulan pucat bersinar di langit yang gelap gulita.






Tanganku gemetaran setelah aku selesai membaca.

Apa...

Apa-apaan ini?

Aku tidak bisa memahami perkembangan alur yang tak terduga ini.

Itu adalah cerita tentang Tokiko bertemu dengan seorang laki-laki di SMA, jatuh cinta padanya, kemudian berpisah darinya.



Karya baru Hiiragi Tokoro, lanjutan dari cerita Tokiko, yaitu "Usia 15 Tahun", merupakan sebuah cerita cinta.



Itu saja sudah cukup membingungkan, ditambah,

"... Ini... aku...?"

Si laki-laki di cerita, orang yang dicintai Tokiko, tidak peduli berapa kali aku memikirkannya, aku hanya bisa berkesimpulan kalau itu adalah aku.

Otakku kepanasan, namun terus berpikir berputar-putar. Aku ingin mengaku, aku ingin memungkiri, aku ingin percaya, aku tidak ingin percaya. Ada satu kebenaran. "Usia 15 Tahun" mengajarkanku kebenaran yang tidak aku sadari.



Hiiragi menyukaiku?



Disaat aku memikirkan itu, hatiku mengencang sangat kuat kupikir hatiku akan berhenti.

Rasanya seperti aku akan mati lemas, jadi aku mengambil nafas dalam.

Dia berusaha untuk berubah. Semua yang ia lakukan supaya lebih dekat denganku?

Dia berubah karena aku?

... Sungguh?

Aku ingin meragukannya, tapi tidak salah lagi.

Hiiragi Tokoro adalah yang menulis cerita itu. Penyihir yang menyalin bagian dari Hiiragi ke dalam "Usia 14 Tahun".

Kalau begitu, "Usia 15 Tahun" juga sudah pasti menyalin bagian dari Hiiragi.



Setelah beberapa saat, putaran emosi yang luar biasa terhempas keluar dari dadaku.

Kebingungan. Kekacauan. Kebahagiaan. Kesedihan. Penyesalan. Kebencian.



Apa-apaan. Serius, apa-apaan aku ini?

[OLI Fan Translation] Bokukano Korekara Chapter 6


Aku mencintainya. Dia juga mencintaiku.

Namun, tidak bisa bersama, kita berpisah.

Itu saja?

Lalu... Apa yang aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan?

Apa yang harus aku lakukan sekarang setelah aku tahu yang sebenarnya?

Aku tidak tahu. Masalah antara Hiiragi dan aku masih belum terselesaikan.

Tokiko bukan Hiiragi. Jika aku lupa itu, hal yang sama akan terjadi lagi.

Mengapa Hiiragi Tokoro ingin aku membacanya? Apa dia ingin aku menyesal? Apa dia ingin menyadarkanku betapa bodohnya diriku? Atau itu sesuatu yang lain?

Pertanyaan itu terus berlipat ganda, sampai tidak beraturan.

Aku tidak bisa mengerti apa yang aku pikirkan dan rasakan lagi.

Dan lagi, di dalam pusaran emosi yang kompleks, ada hasrat tertentu perlahan-lahan mulai bangkit.

Perasaan sederhana yang melampaui akal sehat dan logika.



Aku ingin melihat Hiiragi.



Aku ingin melihatnya dan berbicara dengannya.

Aku ingin mendengar suaranya, aku ingin dia berbicara padaku.

Aku ingin memegang tangannya, dan jika mungkin aku ingin memeluknya dengan erat.

Apa yang aku inginkan bukanlah Tokiko yang berada di sisi lain halaman, juga bukan karakter utama yang tidak berubah. Apa yang aku inginkan saat ini adalah Hiiragi Tokiko yang berubah, yang membuat ekspresi yang belum pernah aku lihat sebelumnya, orang yang bisa tegas.

Aku tidak bisa diam saja dan secara refleks berdiri dari kursi.

Sekarang jam 10 malam. Hiiragi mungkin masih bangun.

Jika aku berlari, aku seharusnya bisa bertemu dengannya malam ini.

Tapi ketika aku mulai bergerak, aku berpikir.

Tidak, belum.

Aku masih tidak bisa bertemu Hiiragi.

Sebelum itu... Ada sesuatu yang harus aku konfirmasi terlebih dahulu.

Setelah berpikir sebentar, aku mengeluarkan ponselku, membuka LINE, memilih orang yang ingin aku ajak bicara dan menekan tombol telepon.

“Maaf menelpon malam-malam begini! Di mana kau sekarang!?"






"K-kenapa kau tiba-tiba menelpon kita...?"

"Ya, itu sangat tidak biasa... Hosono menelpon kita seperti itu..."

Sepuluh menit kemudian.

Aku berlari dari rumahku ke rumah Sudou, yang berada di lantai empat sebuah gedung apartemen di sepanjang Sungai Zenpukuji.

Kamar Sudou sangat berbeda dari kamar Hiiragi, kau tidak akan berpikir mereka berdua sama-sama gadis SMA.

Ada karpet hijau muda yang tampak seperti rerumputan, dan seutas tali dari dinding ke dinding lain terdapat foto-foto Sudou dan teman-temannya yang tergantung di sana. Di meja kosmetiknya, ada alat tulis, permen, dan obat sakit kepala diletakkan secara berantakan. Di langit-langit ada semacam lampu gantung. Kalau tidak salah, dia bilang di LINE beberapa waktu yang lalu kalau dia iseng membelinya sambil menyombongkannya.

Dan di sinilah aku, berhadapan dengan Sudou dan Shuuji, berkeringat.

Ada sesuatu yang harus aku tanyakan kepada mereka.

"Maaf, meneleponmu, malam-malam begini... Tapi, ada yang ingin, aku tanyakan..."

Ketika aku mengatakan itu dengan terengah-engah, Sudou bereaksi canggung.

"Nh... Tidak masalah, ada apa?"

Dia tampak jauh lebih gugup daripada yang pernah kulihat sebelumnya. Sepertinya dia masih merasa bertanggung jawab. Shuuji terlihat lebih gelisah ketimbang bingung.

Pada kedua orang ini, aku berkata, "Ini hanya seandainya, tapi," sebagai kata pengantar sebelum melanjutkan.

"Seandainya, tanpa membaca mood-nya, aku mengabaikan perasaan seseorang dan mengatakan sesuatu yang menyakitkan pada mereka... Dengan begitu, apa yang akan kalian lakukan?"

"... Eh?"

Kupikir mereka tidak mengerti maksudku karena mereka membuat wajah seolah-olah seseorang membanjur air dingin pada mereka.

“S-sesuatu yang menyakitkan ...? E-eto, aku akan marah... mungkin..."

"... Iya, meskipun itu tergantung seberapa menyakitkannya..."

"Lalu, kalau itu sesuatu yang sangat kejam? Sesuatu seperti menghancurkan perasaan orang lain, sesuatu yang biasanya tidak akan kau katakan."

"Hmm, yahh... Jika dikatakan padaku aku akan benar-benar marah, dan jika pada orang lain, aku akan menceramahimu... kurasa."

"Ya, aku juga..."

Shuuji menyetujui apa yang dikatakan Sudou.

Namun, aku tidak puas dengan itu.

"Itu saja? Kau tidak... entahlah, melakukan hal lain?"

"Hal lain?"

"Iya, seperti, misalnya..." Aku berpikir sebentar, lalu mengatakan apa yang menurutku pantas. "... Putuskan ikatanmu denganku, atau makin menjauh."

Namun,

"Eeeh, tentu saja aku tidak akan sejauh itu..."

"Kurasa aku juga tidak..."

Mereka berdua menyangkal apa yang aku katakan.

… Begitu. Yahh, tentu saja mereka berdua akan mengatakan itu.

Meskipun aku bersikap dingin pada mereka, mereka tidak pernah menjauh.

Dan itulah inti utama yang ingin aku tanyakan.

"... Kenapa?" Tanyaku pada mereka. “Kenapa kalian terus berteman denganku jika aku melakukan sesuatu seperti itu? Aku sangat menjengkelkan pada kalian sejauh ini, bukan? Seperti memperlakukan kalian dengan dingin atau yang lain.”

"... Yahh, tidak bisa menyangkal itu," kata Shuuji sambil tersenyum masam.

"Lalu, kenapa kalian tidak menjauh dariku?"

Aku ingin melihat Hiiragi.

Tapi itu artinya mungkin aku akan menyakitinya lagi.

Aku masih tidak mengerti perasaan orang lain. Tidak peduli seberapa hati-hatinya diriku, ada kemungkinan besar suatu hari nanti aku akan menyakiti Hiiragi lagi.

Selama Hiiragi bukan Tokiko, selama dia merupakan seseorang yang perasaannya tidak dapat kumengerti, aku akan tetap cemas tentang hal itu.

Namun, apa sungguh tidak apa-apa bagiku untuk ingin melihatnya? Untuk ingin bersamanya?

Apa aku memiliki hak untuk berharap bisa berada si sampingnya sekali lagi?

Itulah yang ingin aku tanyakan pada mereka berdua yang tidak pernah menyerah padaku meskipun aku memperlakukan mereka dengan dingin.

"Hmm..." Sudou menyilangkan lengannya, berpikir dengan ekspresi serius. "Aku tidak pernah memikirkan tentang hal itu..."

"Aku juga. Lagipula," Shuuji berbalik padaku dan berkata seolah menyatakan suatu hal yang sudah pasti, "berinteraksi dengan orang lain memang begitu."

"... Apa maksudmu?"

"Bukan cuma kamu, bahkan aku, Sudou atau orang lain tidak bisa memahami perasaan orang lain. Dengan memoles skill komunikasimu kau bisa sampai ke titik dimana kau bisa lebih mudah memilih perkataan yang tidak menyakiti orang lain, tapi tidak bisa selalu seperti itu. Itu sebabnya, dari awal pun, premis dalam berinteraksi dengan orang lain adalah kau akan saling menyakiti, atau setidaknya itu yang aku pikirkan..."

"... Bahkan kalian pernah menyakiti seseorang?" tanyaku, terkejut.

"Yahh, tentu saja kita──"

"Aku pernah..."

Aku terkejut mendengar nada berat dari suara Sudou yang menyela.

Melihatnya, Sudou menundukkan kepalanya, air mata berlinang, dan menggigit bibirnya

"Bahkan aku... Bahkan aku tidak bisa mengerti perasaan seseorang, menyakiti dan membuat mereka sedih..." Air mata jatuh di sepanjang pipi Sudou. "Lagipula... karena... karena perkataanku... Hosono dan Tokki... Tokki merasa sedih sejak saat itu, dan kau tidak ujung kembali, Hosono... Semua itu karena aku mencampuri urusanmu..."

Aku bingung, mulutku terbuka lebar.

Itu pertama kalinya aku melihat Sudou menangis, dan melihatnya berbicara seperti itu, penuh penyesalan.

Namun, aku segera sadar.

“Tu-tunggu sebentar!” Aku membungkuk pada Sudou yang terisak. "Kau tidak perlu merasa bertanggung jawab... Lagipula, apa yang kau katakan itu benar... Kau tidak mengatakan sesuatu yang salah..."

"Tapi karena aku.."

"Aku hanya mendapatkan apa yang pantas ku terima, kau tidak perlu merasa bertanggung jawab..."

"... Lihat Hosono," aku menoleh ke arah Shuuji yang tersenyum, "seperti itulah. Di sini Sudou sedih merasa itu salahnya. Dan faktanya, kau menjauh dari Hiiragi-san karena perkataan Sudou, bukan?”

"Yahhh, begitulah…"

“Itulah yang terjadi ketika kau berhubungan dengan orang-orang. Kau melukai mereka dan mereka melukaimu. Baik itu kesalahanmu sendiri, atau bukan, kau tidak bisa menghindari pengaruh dari orang lain."

"... Kalau begitu kenapa?" aku bertanya pada mereka sesuatu yang tidak pernah aku pahami. "Kenapa kalian berdua... tidak berpikir kalian lebih baik sendirian? Kenapa kalian masih ingin bersama orang lain meskipun kau tahu kau akan menyakiti mereka...?"

"... Karena aku suka semua orang," kata Sudou masih terisak, garis matanya menghitam karena terlalu banyak mengusap matanya. "Meskipun aku tahu itu... aku suka Shuuji, Tokki dan kamu, Hosono, jadi aku ingin terus bersama..."

"... Apa ada sesuatu yang bisa disukai tentangku?"

"... Hei," Sudou mengusap air matanya sekali lagi, "pernah ada masalah dengan Ashiya-san, bukan?"

Aku merasakan sakit yang tajam di dadaku mendengar perkataan itu.

Ashiya. Gadis yang aku sakiti.

Mantan teman sekelas yang menjadi alasan aku tidak ingin berhubungan dengan orang lain.

"Waktu itu, kau memberitahu Asshi... Ashiya-san kalau dia benar-benar seperti anak laki-laki. Itu karena itu, kan? Bahwa kau berhenti berbicara dengan orang lain..."

... Jadi mereka tahu.

Karena mereka tidak pernah mengatakan apa pun, aku pikir mereka tidak tahu.

“Hmm yaahh, pada saat itu aku pikir kau membuat kesalahan besar, kau bisa saja mengatakan sesuatu yang lebih baik dan kau itu memang bodoh. Bahkan, semua orang di kelas marah. Tapi... waktu itu saat kau merasa sedih sangatlah mengerikan. Kau terlihat sangat mengerikan sampai-sampai Ashiya-san sendiri merasa bersalah tentang itu...”

"... B-benarkah?"

Setelah apa yang terjadi, aku langsung berhenti berbicara dengan orang lain.

Jadi aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Ashiya setelah itu.

"Yap... Tentu saja, dia merasa sedih untuk sesaat, tapi setelah sebulan dia, dan seluruh kelas juga, tertawa lagi ketika dia diperlakukan seperti anak laki-laki. Semua orang sudah melupakannya. Namun, hanya kau yang membangun tembok di sekitar dirimu, dan mengasingkan dirimu...”

"… Kau serius?"

"Aku mengatakan yang sebenarnya. Itu sebabnya, apa yang terjadi saat itu tidak begitu mengerikan sehingga kau harus memutuskan hubungan dengan orang-orang seperti itu... Bahkan, kadang-kadang Asshi mengirimiku pesan di LINE menanyakan kabarmu."

Aku tidak bisa mempercayainya.

Aku yakin Ashiya akan membenciku seumur hidupnya.

Dan aku pikir aku harus menjalani hidupku sambil memikul tanggung jawab itu.

"Tapi kau tahu," Sudou menatap lurus ke arahku, "Kupikir, kau yang bertindak seperti itu, sangatlah baik."

Baik.

Kata sifat yang tidak tepat untuk menggambarkanku.

Namun, Sudou mengatakan itu padaku dengan serius.

"Benar, kau tidak bisa membaca suasana, Hosono. Kau mengatakan hal-hal yang ceroboh, menyakiti, dan mengganggu orang lain... Tapi aku yakin kau itu baik hati. Itu sebabnya aku menyukaimu dan ingin tetap berteman denganmu."

"Aku juga," Shuuji mengangguk. "Begini, sekitar usia kita kebanyakan orang mulai menjadi lebih pandai membaca suasana hati, menebak perasaan orang lain, menggunakan kata-kata yang tepat dan semacamnya. Tapi mereka melakukan itu tidak selalu untuk orang lain. Mereka melakukannya untuk membuat diri mereka terlihat lebih baik dan menjadi populer. Sebenarnya kita juga melakukannya.”

"Eh... kau juga seperti itu?"

"Ya. Tapi kebalikan dengan bertindak baik, aku pikir kau memang sudah baik, Hosono. Jadi selama kau tidak kehilangan kebaikanmu, aku tidak keberatan disakiti olehmu. "

"… Begitu."

Aku akhirnya merasa seperti memahami perasaan Sudou dan Shuuji.

Orang-orang saling menyakiti. Tidak ada hubungan tanpa rasa sakit.

Namun, orang-orang ingin terus bersama. Selama mereka saling menyukai, aku yakin siapa pun bisa terus bersama.

Jadi, yang aku butuhkan adalah──

Yang aku butuhkan bersama Hiiragi adalah──

"... Fufufu."

Sudou tersenyum menatap wajahku.

Lalu dia berkata,

"Apa kau sudah punya tekad untuk melukai dan dilukai?"

"... Iya," aku mengangguk dan berdiri. "Terima kasih kalian berdua."

"Nah, kami tidak melakukan sesuatu yang istimewa."

“Ya, tidak perlu mengucapkan terima kasih. Lagipula," Shuuji tersenyum lembut, "kita teman, bukan?"

Kemudian merasakan empati dari lubuk hati yang paling dalam bersama mereka untuk pertama kalinya, aku mengangguk.

"Iya, kau benar."






Jam di taman menunjukkan pukul 10:32 malam.

Terengah-engah, aku duduk di bangku.

Taman diterangi oleh lampu jalan yang redup. Taman bermain, pepohonan dan bak pasir yang tenggelam dalam kegelapan tampak sangat berbeda dibandingkan dengan siang hari, mengingatkanku pada aquarium di malam hari.

Aku menghirup nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkan ponselku dari saku.

Aku buka LINE, lalu chatku dengan Hiiragi, yang tidak berubah untuk beberapa waktu, dan setelah sedikit ragu-ragu aku mengirim pesan "aku tunggu" padanya. Tanpa menunggu ada notifikasi "Baca" aku menyimpan ponselku ke dalam saku.

Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan padanya.

Aku ingin minta maaf. Aku ingin berterima kasih. Aku ingin memberitahu pikiran dan keluhanku tentang "Usia 15 Tahun" padanya. Aku ingin menjelaskan sesuatu, dan memberitahu perasaanku.

Semua keinginan itu saling bertarung untuk menduduki puncak, membuatnya semakin mustahil untuk menyatukan segalanya.

Tapi, kupikir itu tidak masalah.

Bukan berarti juga aku tiba-tiba ingin jadi pembicara yang baik.

Itu sebabnya aku hanya harus mengungkapkan segala isi pikiran dan perasaanku tanpa satupun kebohongan pada Hiiragi.

Itulah yang ingin aku lakukan.



Beberapa menit kemudian, aku dengar seseorang sedang berlari kecil.

Kemudian,

"...!"

Sangat jelas terlihat bahwa Hiiragi, yang muncul di pintu masuk taman, datang kesini terburu-buru dilihat dari penampilannya yang berantakan.

Poninya berantakan, dia terengah-engah, baju yang ia kenakan kusut. Ada benang di kardigan di bahunya. Sendalnya lusuh dan talinya terlihat seperti akan putus kapan saja.

Aku tidak pernah melihat Hiiragi begitu tak berdaya sebelumnya. Gadis yang ada di depanku ini.

Saat dia melihatku yang sedang duduk di bangku dia membuat ekspresi rumit.

Wajah tersipunya memperlihatkan kekacauan, keputusasaan, ketakutan, dan kebingungan.

Alasannya tentu saja aku. Perasaan bersalah ini terasa seperti pukulan pada perutku.

"... Maaf, memanggilmu larut-larut begini," kataku berdiri. "Tapi ada sesuatu yang sangat ingin kukatakan padamu, Hiiragi..."

"... H-hmm," dia mengangguk, memasuki taman dengan gugup.

Dia berjalan ke arahku, kadang-kadang memalingkan muka, dan berhenti di beberapa langkah di depanku.

Akhirnya aku menghadapi Hiiragi Tokiko setelah beberapa saat.

Poni hitam dan wajahnya tertata sangat rapi sehingga kau mulai berpikir kau melihat ilusi.

Bintang-bintang berkilauan di dalam mata hitam pekatnya, yang saat ini sedang melihatku.

Bibir kecilnya tertutup rapat, pipi putihnya terlihat kaku, dan alisnya mengkerut dengan gelisah.

Perasaan yang selama ini aku tahan terhempas keluar.

Pikiranku kacau, aku ingin menyentuhnya sekarang.

Namun, entah kenapa aku berhasil untuk menahan diri dan berkata:

"... Aku baca 'Usia 15 Tahun'."

Bahu Hiiragi bergetar.

"... Begitu."

"Seperti biasa... bukunya terbaik. Hiiragi Tokoro sangat luar biasa. Cara ia merekonstruksi apa yang terjadi, dan cara ia mengekspresikan pikiran dan perasaan sangat sempurna... Dengan begitu penggemar 'Usia 14 Tahun' akan puas. Dan juga itu punya cerita yang lebih jelas, jadi kupikir bukunya akan laris manis."

"... Begitu."

"Aku juga tertarik nanti sampulnya akan seperti apa. Aku ingin membaca versi bukunya. Aku yakin aku juga akan baca 'Usia 15 Tahun' berulang kali."

Hiiragi menggigit bibirnya tanpa menjawab.

Melihatnya seperti itu, aku mengerti.

Barusan, aku menyakiti Hiiragi.

Memuji "Usia 15 Tahun" berarti aku memuji Tokiko dan bukan Hiiragi, oleh karena itu dia tersakiti.

Iya. Aku akan selalu menyakiti orang.

Aku akan selalu menyakiti dan membuat orang sedih karena ucapan dan sikap egoisku.

Dan aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri untuk itu.

"Tapi," lanjutku, "Aku... aku pikir buku itu belum selesai."

Hiiragi perlahan menaikkan wajahnya.

Dia membuat ekspresi seakan-akan segala hal yang ia pertahankan akan hancur jika aku terus bicara.

"Melihat Tokiko memikirkan banyak hal di kehidupannya... hmm, iyahh, aku sungguh berempati padanya. Itu masih novel favoritku dan tokoh utama favoritku. Tapi..." Aku menghirup nafas dalam dan menatap mata Hiiragi. "Yang ingin aku temui adalah Hiiragi, bukan Tokiko."

Hiiragi terkejut.

Dia tidak mengerti maksudku, ataupun harus berbuat apa. Ekspresi semacam itu.

"... Hey, Hiiragi. Kau pikir aku bodoh, bukan?"

Hiiragi tampak bimbang untuk sesaat, tapi dia menggangguk kecil.

"Aku pikir kau benar. Aku sama sekali tidak sadar kau berpikir seperti itu padaku. Bagi Sudou dan Shuuji itu tampak terlihat jelas, tapi bagiku aku sama sekali tidak mengerti. Kupikir aku memang tidak bisa memahami perasaan orang lain... Tapi kau tahu," aku tidak bisa menahan untuk sedikit tersenyum, "kau juga sama, Hiiragi."

"... Kenapa?"

"Maksudku, kau tidak sadar, ya kan? Kalau aku sangat senang saat kau meminta bantuanku."

"Eh...?" Hiiragi melebarkan matanya. "...Sungguh?"

"Iya. Dan apa kau sadar kalau aku berat sekali untuk mengucapkan selamat tinggal padamu saat kita pulang dari karaoke?"

"... Tidak."

"Bagaimana dengan waktu kita pergi ke rumahmu dan kau sangat cantik aku jadi terus memandangimu? Waktu meskipun aku senang kau bisa akrab dengan Sudou dan Shuuji tapi aku merasa kesepian? Waktu aku sangat senang membicarakan rahasiaku padamu? Apa kau sadar betapa malunya aku saat kita bersentuhan satu sama lain?"

Mata Hiiragi berlinang penuh air mata.

Dan akhirnya,

"Dan saat itu terjadi, apa kau sadar kalau aku mulai menyukaimu, Hiiragi?"

Tubuhku menjadi panas setelah mengatakan itu.

Jantungku berdetak cepat sekali. Keringat di telapak tanganku terasa menjijikan.

Aku tidak tahu apakah itu karena kegirangan atau karena kegugupan, tapi bibirku bergetar dan aku tidak bisa menutup mulutku dengan benar.

"... Mustahil," Hiiragi melihatku dengan tangannya menutupi mulutnya. "Saat itu... kau..."

"Dan setelah itu juga. Aku selalu bertanya-tanya apa yang kau pikirkan terhadapku, gugup saat kita berpegangan tangan, memikirkan hal-hal mesum saat kita bersentuhan, aku jadi orang tak berguna. Kau sama sekali tidak sadar, bukan?"

"... Ta-tapi, itu... bukan tentangku, tapi tentang Tokiko..."

"Awalnya aku juga pikir begitu. Tapi setelah membaca 'Usia 15 Tahun' aku pun sadar. Aku ingin tahu kau akan jadi seperti apa, Hiiragi. Kau mungkin berubah dan tidak menjadi Tokiko lagi, tapi aku ingin bersamamu."

Aku tidak bisa menahannya lagi.

Aku memegang tangan Hiiragi, mengejutkannya.

Dia menatapku, wajahnya memerah.

Menatapnya, aku──

"Aku menyukaimu," kataku, tidak bisa menahan perasaanku, "Bukan Tokiko, orang yang aku suka adalah kamu, Hiiragi, orang yang ada di hadapanku. Jadi biarkan aku tetap berada di sampingmu. Biarkan aku melihatmu berubah."

Air mata jatuh dari mata Hiiragi.

Lalu seperti bendungan pecah, matanya dipenuhi oleh air mata.

Sesuatu yang tidak akan pernah ditunjukkan Tokiko, emosi Hiiragi Tokiko yang sebenarnya.

Hiiragi menghela nafas dan mengusap air matanya dengan ujung bajunya.

Kemudian, menatap langsung ke arahku,

"... Aku juga," dia memulai, tersenyum, "... Aku bergantung ke cerita lagi. Terlebih aku menggunakannya untuk mengungkapkan hal-hal yang seharusnya aku katakan langsung... Tapi dengan ini, sudah waktunya berhenti jadi pemalu. Jadi kumohon, dengarkan aku."

Hiiragi menegakkan dirinya dan mengeringkan tenggorokannya.

"... Aku menyukaimu, Hosono-kun," ucapnya dengan suara jelas. "Aku tidak ingin hanya menyukaimu, aku ingin kau menyukaiku juga, Hosono-kun. Bukan Tokiko, tapi aku yang ada di hadapanmu."

"... Iya."

"Jadi... Kumohon, perhatikan terus aku. Di sampingku, dan selamanya."

[OLI Fan Translation] Bokukano Korekara Chapter 6


Aku mengangguk, memegang tangannya dengan erat.

"Iya, aku bersumpah."

Aku dapat merasakan kehangatan tubuhnya melalui lengannya.

Tidak seperti hangat dari halaman sebuah buku, itu hangat dari kehangatan Hiiragi Tokiko.

Aku tidak ingin melepaskannya. Aku ingin memegang tangannya selamanya.

Saat aku memikirkan itu,

"... Aaaaaaah..."

Hiiragi mendadak jongkok, seolah-olah lututnya melemah.

"H-hei! Ada apa, kau tidak apa!?"

"I-iya... Maaf, aku tidak apa. Kakiku bergetar dan aku tidak bisa tahan lagi..."

Mendengarnya aku pun sadar.

Seluruh tubuh Hiiragi sedikit bergetar.

"Haa... aku penasaran apa yang akan terjadi. Aku sangat gugup memikirkan kenapa kau memanggilku kesini. Kupikir aku akan mati..."

"... Kau segitu mengkhawatirkannya?"

"... Itu salahmu, tahu, Hosono-kun."

Hiiragi melihatku dengan sebal.

Namun, mungkin karena dia sudah lega sekarang, ekspresinya jauh lebih rileks dari sebelumnya.

"Kalau kau tidak baik dan lebih tidak menyenangkan orangnya, aku tidak merasa seperti itu, Hosono-kun..."

"... Yeah, salahku."

Hiiragi menggunakan tanganku dan berdiri.

Lalu melihat jam di taman,

"Aaah... Sudah selarut ini. Aku buru-buru pergi keluar jadi Ibu pasti khawatir..."

"Sudah pasti, iyaa, maaf... Untuk sekarang aku akan mengantarmu pulang."

"Terima kasih."

Masih berpegangan tangan, kita mulai berjalan.

Tangan lembab dan berkeringatnya dengan erat menggenggam tanganku.

Melihat bulan pucat yang menerangi langit malam, aku berpikir:



Kupikir bahwa sekarang, ini adalah prolog dari kisahku bersama Hiiragi.





──Itu sebabnya, cinta pertamaku dimulai setelah epilog.

(Usia 15 Tahun/Hiiragi Tokoro - Edisi Machida)