Sakuta selesai bekerja pada pukul jam sembilan lewat dua puluh menit malam itu. Tiada ujungnya pelanggan berdatangan hari ini, jadi dia tidak bisa selesai pada jam sembilan tepat seperti yang telah direncanakan.
Tomoe juga sama, pasti melelahkan mengalami hari berat seperti ini di hari pertama ia bekerja.
Sakuta sudah selesai berganti baju dan sedang menunggu di tempat parkir sepeda di belakang restoran, menggunakan sepeda terparkirnya sebagai pengganti tempat duduk. Dia meninggalkan sepedanya disini tempo hari karena hujan deras, dan untungnya bisa dibawa pulang hari ini.
Sakuta memutuskan dia akan pergi jika Tomoe tidak keluar dalam hitungan menit, tapi dia keluar dalam waktu sepluh detik, melihat hpnya. Dia melihat Sakuta dan berlari mendekat, masih memegang hpnya.
"Senpai, sebenarnya ada yang ingin a-" dia memulai pembicaraan dengan tenang.
"Aku tolak," selanya.
"Aku bahkan belum bertanya!" Tomoe cemberut.
"Aku tolak."
"Setidaknya dengarkan aku."
"Aku menolak mendengarkan."
"Kenapaaa?"
"Kau hanya ingin aku untuk berpura-pura kalau kita pacaran, bukan?" Tanya Sakuta sambil menghela nafas. Jika ini merupakan masalah Sindrom Masa Pubertas maka dia mungkin akan membantu, tapi apa yang baru saja dia katakan merupakan masalah yang berbeda.
"Senpai, maneh bisa maca pikiran?" Teriak Tomoe terkejut, tangannya melayang ke dadanya. Dia jadi berbicara memakai aksen kota kelahirannya, tapi dia tidak yakin kalau Tomoe menyadarinya. Dia mungkin tidak menyadarinya. (note: atau kau bisa baca pikiran?)
"Kemarin kau bilang sesuatu seperti tidak mau dengan orang yang temanmu sukai."
"Aku tidak mengatakannya seperti itu."
"Sesuatu seperti ditembak oleh orang yang temanmu taksir akan sangat mengacaukan suasana?"
"Iya..."
"Dan aku pun menolak."
"Na'kenapa?"
"Selain itu, ada sesuatu yang harus lebih kau khawatirkan."
Misalnya, alasan tanggal dua puluh tujuh berhenti terulang dan dua puluh delapan tiba... dan alasan awalnya terjadi perulangan tanggal dua puluh tujuh, kejadian itu belum tentu sama dengan yang diasumsikan Sakuta sebelumnya.
"Dikhawatirkan?"
"Sindrom Masa Pubertas mu."
"Sekarang sudah hari ini, jadi itu tidak masalah," tolak Tomoe blak-blakan, "sekarang bukan waktunya mengkhawatirkan hal itu! Aku lagi ada masalah!"
Rupanya, menjaga pertemanannya jauh lebih penting bagi Tomoe, prioritas tertingginya. Bahkan Sindrom Masa Pubertas tidak terlalu dipikirkan olehnya.
Mencoba membicarakannya hanya akan membuang-buang waktu. Tanpa ada lagi pilihan, Sakuta kembali berbicara mengenai permintaan Tomoe.
"Apa pun alasannya, berbohong tidaklah bagus," tegurnya, membuat Tomoe tersentak dan meringis mendengar argumen itu, "pikirkan perasaan Maesawa-senpai juga."
Sejujurnya dia tidak tahu seberapa serius orang itu terhadap Tomoe menurut apa yang Yuuma katakan, tapi... Rupanya, dia belum putus, dan mungkin dia berpikir Tomoe mudah diajak hohohihe. Dia memang terlihat seperti tipe orang yang mudah ditekan.
"Itu benar..." ucapnya, bahunya merosot mendengar perkataan Sakuta.
"Dan yang paling penting, itu merepotkan."
"Kau sangat menyebalkan!"
"Selain itu, sampai kapan kau ingin aku berpura-pura seperti ini? Sampai kelulusan kelas tiga? Itu tidak akan berhasil, kita pasti akan ketahuan, dan kemudian masalah akan menjadi tambah merepotkan."
"Aku sudah membuat rencana untuk itu."
Sakuta hanya dapat membuat suara kebingungan menanggapi perlawanan tak terduga darinya.
"Ah, kau tidak percaya," lanjutnya.
"Mau aku percaya atau tidak itu tidak ada bedanya."
"Kau sungguh menyebalkan!"
"Aku mengerti, maaf. Kau mungkin tidak ingin melihatku lagi, jadi aku akan pergi."
Setelah mengatakan itu, Sakuta menginjak pedal sepeda dan mengayuhnya, tapi sayang, sepedanya langsung terhenti. Dia berbalik untuk melihat Tomoe memegang jok belakang sepeda dan menahannya.
"Hanya sampai semester pertama selesai, kumohon!"
"Gak, aku sungguh tidak ingin meng-investasikan apapun ke dalam pertarunganmu."
"Cuma sampai liburan musim panas, setelah itu kita bisa berkata kalau kita berpisah selama liburan, bukan? Kemudian kembali ke kehidupan kita masing-masing di semester kedua."
"Itu penipuan berencana. Kau sebenarnya jahat juga, ya?" Tanya dia.
"Aku hanya putus asa!"
"Aku tahu." Sakuta berterus terang. Dia menguatkan cengkramannya untuk menghentikan Sakuta pergi menggunakan sepedanya. Rencananya juga penuh dengan lubang, salah satu lubangnya ialah Sakuta sendiri.
"Aku tahu ini datang dariku, tapi mengingat reputasiku seperti sampah, apa kau sungguh ingin terlihat kau berpacaran denganku?"
"Belakangan ini, diantara anak kelas pertama, kau jadi banyak diidam-idamkan, jadi aku pikir itu bukan masalah."
"Apa?"
Bagaimana bisa? Dia ingin detailnya, tapi memutuskan itu bohong.
"Meneriakkan cintamu di tengah-tengah lapang olahraga itu luar biasa."
"Itu hanya candaan bagi orang-orang."
Meski Sakuta menganggapnya begitu, Rena dan yang lain bersikap biasa saja padanya, tidak ada satupun di kelasnya sendiri yang berbicara dengannya, tapi mereka berbeda.
Rumor bahwa dia telah mengirim teman sekelasnya ke rumah sakit saat SMP menempatkan Sakuta ke dalam posisi sulit sekitar setahun sebelumnya. Kejadian itu mungkin tidak terlalu dipikirkan oleh anak kelas pertama seperti Tomoe, yang belum pernah mengalami perubahan atmosfer sekolah, palingan itu cuma sesuatu seperti 'kata kakak kelas...'
Selain itu, semestar pertama sebentar lagi akan berakhir, dan bagi anak kelas pertama baru mulai menciptakan budaya mereka masing-masing, rupanya sedikit berbeda dengan sisa murid di sekolah.
"Aku agak menghormati hal semacam itu," Tomoe mengakui.
"Aku tidak akan melakukannya untukmu, Koga."
"Itu bakalan menggangguku, jadi gapapa!"
Apapun yang terjadi, Sakuta tidak akan pernah mengerti pikiran wanita.
"Ah, benar, pacaran mungkin sedikit kecepetan," dia menambahkan, "jadi melakukan langkah sebelum itu mungkin bisa juga."
"Jadi kau mengabaikan semua yang aku katakan."
"Kau akan menjadi lebih dari teman sekolahku, kurang dari pacarku mungkin?"
"Itu hampir tidak ada bedanya, tapi akan lebih sulit daripada berpacaran. Apa kau tidak masalah?"
"Tidak masalah apa?"
"Sesuatu seperti pacaran," ucapnya, menatap Tomoe. Dia mengenakan seragam sekolah yang familiar, blus putih, rok pendek, kaus kaki biru dan sepatu pantofel. Secara keseluruhan itu memberikan kesan yang kohesif, mungil dan solid. "Yah, kurasa kau pernah berpacaran sebelumnya."
Cewek SMA jaman sekarang memang cepat kalau itu.
"I-iya" dia setuju, tergagap dan memalingkan muka, "tapi cuma sebentar..."
"Hmmm."
"A-apa?"
"Aku hanya berpikir tampaknya kau sudah dewasa."
"Itu agak menyeramkan. Oke? Kalau gitu kau akan bersikap seperti kau menyukaiku?"
Tampaknya dia melanjutkan percakapan dengan asumsi kalau Sakuta setuju, meski Sakuta tidak ingat dia melakukannya.
"Apa kau sadar apa yang sebenarnya kau rencanakan?"
Berbohong hanya pada Maesawa-senpai mungkin baik-baik saja. Tapi untuk mencegah hal itu terbongkar, mereka juga harus mengelabui yang lainnya. Tomoe sudah berbohong pada temannya, dan jangkauannya akan terus bertambah.
Gosip tentang orang pacaran akan menyebar dengan cepat, mau itu bohong atau bukan. Dihubung-hubungkan dengan seseorang yang terkenal jahat seperti Sakuta hanya akan memperburuk hal tersebut. Jadi untuk membohongi Maesawa-senpai mereka berdua harus membohongi seluruh sekolah.
"Kita akan membohongi sekitar seribu murid." peringat Sakuta padanya. Itu sama sekali bukan jumlah yang sedikit.
"Aku sudah tahu," dia bersikeras, tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau keterkejutan.
"Serius?"
"Serius."
Haruskah dia anggap itu sebagai keberanian, atau hanya murni kesintingan? Sakuta tidak bisa memutuskan.
"Bagaimanapun juga, kumohon!" Dia menepuk kedua tangannya dan membungkukan kepalanya.
"Katakan... bagaimana bisa membantumu dapat membantuku?"
Dia dapat memikirkan banyak sekali kerugian, terutama sehubungan dengan Mai. Itu hanya akan menunda kencan mereka lebih jauh, ketika seharusnya mereka sudah menjadi sepasang kekasih. Mereka seharusnya sudah bermesra-mesraan sekarang...
"Jika kau membantuku, aku akan melakukan satu hal apapun yang kau inginkan."
"Aku tidak begitu punya sesuatu yang ingin kulakukan padamu," balas Sakuta dengan cepat.
"Me-meskipun aku akan melakukan apapun?"
Tomoe melihat Sakuta tidak percaya diri. Dia benar-benar terlihat seperti dia telah memperdaya Sakuta.
"Gadis remaja seharusnya tidak mengatakan akan melakukan apapun begitu mudahnya." Karena itu sebenarnya sedikit menggairahkan.
"Ta-tapi kalau begini terus, aku akan dikucilkan di kelasku," ucapnya, terpuruk sambil melihat kedua tangannya dengan serius, "aku tidak ingin sendirian saat istirahat, makan sendiri, atau ke toilet sendiri."
"Pergilah ke toilet sendirian," tegurnya.
Mereka memang tidak pergi ke kamar kecil bersama-sama. Tapi Sakuta tidak tahu, sejauh yang dia khawatirkan, mungkin mereka melakukannya. Perempuan memang menakutkan.
"Mungkin kau sudah tahu jadi aku akan mengakuinya, aku tinggal di Fukuoka saat SMP, dan aku tidak punya siapapun kecuali temanku di sekolah disini... Rena-chan, Hinako-chan, dan Aya-chan."
"Mereka bertiga yang tadi?"
"Iya," dia mengangguk, menurunkan matanya.
"Sendirian itu lumayan enak. Kau tidak perlu khawatir dengan orang-orang disekitarmu, dan itu tidak kesepian seperti yang kau bayangkan."
Bagi Sakuta, itu karena dia punya Yuuma dan Rio, dan baru-baru ini, Mai juga.
"Itu bukan karena aku kesepian."
"Huh? Kenapa dong?"
"Itu karena... memalukan," ucap Tomoe dengan suara rendah.
Sakuta mulai merasa tak enak di dadanya.
"Aku tidak ingin semua orang berpikiran 'dia selalu sendiri' atau apa," tambahnya.
"Aku mengerti."
Anehnya dia bisa setuju. Dia mengangkat kakinya dari pedal dan menurunkannya kembali ke lantai.
Bukan terisolasi-nya yang ia takuti. Tapi bagaimana dia akan dilihat orang-orang ketika dia sendirian. Dia tidak ingin rumor tentangnya menyebar, dan bayangan orang-orang mungkin mengejeknya di suatu tempat adalah hal yang terburuknya.
Rasa malu itulah yang menyebabkan luka lebih dalam daripada hati yang belum dewasa terisolasi. Perasaan yang menyedihkan, karena semakin tidak diperhatikan oleh orang-orang... Itu mencuri rasa percaya dirimu, dan menutup hatimu.
Tanpa berkata-kata Sakuta memegang kepala Tomoe yang sedang tertunduk.
"Senpai?" Tanya dia, menengadah terheran-heran.
Kaede mengatakan yang sama ketika dia di bully.
"Itu... memalukan pergi ke sekolah."
Dia tidak ingin orang-orang melihatnya di bully, dan dia pun berhenti keluar dari rumah, takut akan pandangan orang-orang.
Gambaran Kaede saat itu tampak menyeliputi Tomoe di pandangan Sakuta.
Alasan karena dikucilkan bisa jadi masalah yang paling sepele, kau tidak pernah tahu jika sesuatu dapat menimbulkannya. Suatu saat bisa menciptakan atmosfer semacam itu akan langsung menyebar ke sekelilingnya, kemudian itu semua akan terlambat. Mengobati penyakit itu sangat sulit.
Terutamanya karena perempuan punya budaya yang berbeda dengan laki-laki. Apapun yang nampak di permukaan, tidak mungkin untuk melihat hubungan di dalamnya dari luar. Jika seseorang bertengkar dengan kelompoknya, mereka tidak mungkin bisa pindah ke kelompok lain dengan mudah.
"Kau ada di kelompok utama, bukan?"
"Eh?"
"Kelompok cewek-cewek paling imut di kelas."
"Sulit untuk setuju denganmu," jawabnya sambil cemberut, secara tidak langsung mengkonfirmasinya.
Membuat pemimpin kelompok utama membencinya sudah pasti dapat menimbulkan masalah. Tidak ada yang mau melawan perempuan paling berpengaruh di kelas. Mereka tidak bisa. Menyakiti perasaannya akan menelantarkan mereka ke pulau orang penyendiri. Jika dia bilang itu imut, maka itu imut, jika dia bilang benci itu, maka mereka juga membencinya.
Dan dalam kasus ini, Kashiba Rena lah yang berada di posisi tersebut, dan Maesawa-senpai, yang ia sukai, yang mengincar Tomoe. Sakuta dapat mengerti kenapa Tomoe khawatir sekarang.
"Baiklah," tegasnya.
"Eh?"
"Aku bilang baiklah, aku akan berbohong ke semua ribuan murid di sekolah."
"Sungguh?"
"Tapi aku punya persyaratan."
"Tu-tubuhku?" dia tergagap, memeluk tubuhnya dengan tangannya.
"Siapa juga yang tertarik dengan tubuh tak berkembang milikmu itu? Sangat tidak sopan."
"Kau lah yang tidak sopan! Seriusan!"
"Pokoknya, dengarkan," dia bersikeras.
"I-iya."
Tomoe mengangguk dengan ekspresi gugup, menelan ludah.
Sakuta menghela nafas sekali sebelum berbicara dengan sungguh-sungguh:
"Semangatilah tim Jepang di pertandingan liga grup ketiga."
Satu-satunya jawaban Tomoe adalah suara kebingungan.
"Jika tim Jepang kalah, maka anggap saja ini seperti tidak pernah terjadi."
"Aku tidak mengerti apa maksudmu! Apa yang kau bicarakan?"
"Baiklah, itu saja," ucap Sakuta, mengabaikan Tomoe yang meminta penjelasan dan menginjak pedalnya lagi.
"Ah, tunggu."
"Itu saja yang ingin aku katakan."
"Aku akan mendukung mereka! Aku masih punya permintaan..." dia berbalik dan melihatnya sedang gelisah bermain-main dengan jarinya, "Be-besok."
"Ada apa?"
"Kau harus bekerja sampai tanggal dua, kan?"
"Memang."
"Se-setelah shift mu berakhir... be-be-be-"
"Beri pukulan di jidatmu, bukan."
"Bukan!" Teriaknya, menutupi keningnya.
Ada sepasang kekasih yang sedang menyebrang jalan di depan saling cekikikan, perempuannya berkata: "Kayaknya ada yang lagi berantem."
"Be-berkencanlah denganku," usai Tomoe, wajahnya tambah memerah karena ditertawakan pasangan itu.
Setelah mereka selesai bicara, Sakuta melihat Tomoe pergi ke daerah sekitar rumahnya sebelum mengayuh sepeda dengan pelan menuju rumahnya sendiri. Ternyata tempat tinggal mereka dekat juga.
Musim panas mendekat seraya bulan Juni berakhir, dan mengayuh sepeda melawan angin panas dan kelembaban itu rasanya sedikit sejuk. Awan putih melintasi langit yang gelap ketika Sakuta menatap bintang-bintang. Bahkan Sakuta juga tahu Segitiga Musim Panas. Vega yang merupakan bintang alpha rasi Lyra, dan Altair yang merupakan bintang alpha rasi Aquila, atau dikenal sebagai Orihime dan Hikoboshi, para dewa yang dapat bertemu saat Tanabata.
Setelah beberapa saat, dia ingat sesuatu yang lain, Deneb di bintang alpha rasi Cygnus. Cinta pertama Sakuta, gadis SMA Makinohara Shouko ialah yang memberitahunya tentang bintang Deneb ketika mereka bertemu saat Sakuta kelas tiga SMP.
Dia tidak tahu Shouko ada dimana sekarang, atau apa yang dia lakukan. Dia tidak punya kontaknya, dan dia tidak pernah bertemu lagi dengannya.
Dia bahkan tidak bisa mengingat wajahnya dengan baik seiring ingatannya menjadi tambah samar. Malahan, ekspresi tidak senang Mai yang muncul di pikirannya.
"Sekarang, ngapain ya," ucapnya pada diri sendiri.
"Be-berkencanlah denganku."
Sebagai tanggapan, Sakuta hanya bertanya 'kenapa?'.
"Rena-chan nanya apakah kita akan berkencan, dan kayak gitulah..."
"Kayak apa?"
"Kayak dia bilang pergilah kencan di akhir pekan."
"Jadi dia menyuruhmu untuk terbawa suasana?"
"Senpai, kau menakutiku!"
"Kau sungguh memang ingin dipukul."
Dengan cepat Tomoe menyembunyikan keningnya lagi.
"Kenapa enggak bilang aja 'enggak ahh, aku sibuk di akhir pekan~'?" Tanya dia.
"Aku mau ambil foto untuk jaga-jaga."
"...Kau ternyata cermat juga."
Bukannya Sakuta tidak mengerti, mengatakan bahwa dia akan kencan selama akhir pekan akan membuat yang lainnya meminta-minta Tomoe foto saat kencan. Dan akan tampak aneh kalau dia tidak mengambil foto satupun, apalagi prevalensi dari smartphone dan hanya telepon genggam ber-kamera pada umumnya. Sangat menjengkelkan...
Dan begitulah, dia tidak punya pilihan selain pergi kencan dengan Tomoe besok.
Masalah berkembang jadi sedikit aneh.
Bagaimana dia akan memberitahu Mai apa yang terjadi? Diatas semua itu, dia telah menyaksikan Sakuta memegang Tomoe kemarin dan mood nya jadi sangat buruk. Membawa-bawa Tomoe lebih jauh pada situasi itu pasti akan membuat Mai kelihangan kesabaran padanya.
Pikiran itu adalah...
"Ya ampun, sepertinya itu akan sangat menyenangkan."
Dia tidak punya satu pikiran buruk pun ketika membayangkan kejadian itu. Dengan senyuman lebar di wajahnya, Sakuta mengayuh sepedanya menuju sisa perjalanan pulang.
2 Comments
Semangat min!
ReplyDeleteOh yaa... Min, boleh bagi link yang versi english atau raw nya dong, pliss... Penasaran :)
ReplyDeletePost a Comment
Silahkan berkomentar dengan adat dan etika yang pantas.