2

Setelah selesai menyantap sarapan bersama Kaede, Sakuta pun berpakaian. Dia mengenakan seragam sekolahnya karena pemahaman tersirat bahwa semua murid akan menghadiri kelas pagi pada hari Sabtu selama setengah bulan untuk melakukan hal-hal yang biasa tidak dilakukan selama kelas biasa.

Terkadang hal-hal aneh seperti ini harus diberlakukan untuk menutupi kesenjangan antara kurikulum nasional dan pendidikan yang diperlukan di dunia nyata.

"Aku berangkat, Kaede."

"Iya, sampai jumpa lagi."

Kaede melambaikan tangan padanya sembari Sakuta menguap dengan angkuhnya dan pergi ke sekolah.

Dunia ini sangat damai, tidak ada yang membuat masalah atas kedatangan tanggal dua puluh delapan, dan satu-satunya perbedaan dari hari biasa adalah minimnya pekerja kantoran dan orang-orang di sekitar stasiun lebih sedikit.

Begitu juga dengan perjalanan naik Enoden dari Fujisawa, tidak ada orang yang membuat pernyataan seperti 'akhirnya tanggal dua puluh delapan', 'aku lebih suka yang kedua puluh tujuh', atau 'huh, jadi sekarang benar-benar tanggal dua puluh delapan'.

Ruang kelasnya juga sama, tidak ada keanehan pada murid-murid ketika ia melihat mereka dari kursi di dekat jendelanya. Melihat mereka tidak akan mendapatkan informasi apapun, jadi Sakuta mengalihkan pandangannya ke pantai Shichirigahama.

Sinar matahari menyinari ombak, dan ada gradien indah dari biru ke putih di langit, garis datar horizon yang sempurna membentang di antara keduanya.

Itu pemandangan yang indah.

"Hei," dia mendengar suara.

Bagaimanapun juga, dia akan meminta maaf pada Mai nanti. Mai mungkin tidak akan memaafkannya dengan mudah, tapi tidak ada cara lain untuk memecahkan kebuntuan saat ini.

"Apa kau dengar?" Suara itu berlanjut, tampaknya menyapa Sakuta. Dia melihat ke depan lagi dan melihat seorang gadis berdiri di depan mejanya.

Dia adalah Kamisato Saki, dan sedang berdiri dengan tangan menyilang, menatap rendah dirinya. Dia memiliki tatapan yang kuat, riasan yang dilakukan dengan teliti dan mengenakan seragam dengan kerahnya yang tertarik ke bawah. Dia menonjol di dalam kelas dan merupakan titik pusat dari geng gadis-gadis paling populer, bersamaan dengan menjadi pacar Yuuma.

"Sedikit kasar mengabaikanku, bukan?"

"Aku pikir kau tidak akan berbicara padaku lagi," jelasnya.

"Apa maksudnya itu? kau menakutkan,” Apa yang Yuuma lihat dalam dirinya, Sakuta bertanya-tanya. Dia tidak mengerti seleranya tentang perempuan. "Datanglah ke atap sepulang sekolah, aku perlu bicara denganmu."

Setelah mengatakan permintaannya yang sewenang-wenang, Saki kembali ke kursinya. Di sekitar kursinya ada sekelompok empat gadis.

"Apa Azusagawa melakukan sesuatu?" Tanya salah satu dari mereka.

"Kasihan Saki-chan," komentar yang lain, melanjutkan obrolan yang aneh.

Sakuta ingin seseorang mengkhawatirkannya karena dia diperlakukan seperti dialah yang salah.

"Ini tentang Yuuma, tidak apa-apa," kata Saki.

"Ah. Oh ya, aku nemu ini kemarin,” salah satu gadis membalas, topik berubah menjadi aplikasi menyenangkan yang mereka temukan sehari sebelumnya.

"Ini luar biasa!"

"Ya, ayo semuanya juga ikutan!"

"Ya, ya!"

Suara gembira kelompok itu bergema ke penjuru ruang kelas dari posisi mereka yang berada di tengah.

Ada geng cewek lain yang melihat mereka dari kejauhan, dengan ekspresi jelas tidak senang di wajah mereka. Mereka tidak mengutarakan keluhan mereka, ketika mereka mungkin bertemu dengan tatapan geng lain, mereka akan mengalihkan perhatiannya kembali ke obrolannya mereka sendiri.

Situasi sosial pada perempuan tampaknya sedikit lebih rumit daripada laki-laki.

Ketika dia sedang memikirkan hal itu, Sakuta tiba-tiba menyadari sesuatu.

Kelompok cewek-cewek di sekitar Saki sedikit berbeda dibandingkan dengan beberapa hari yang lalu. Dia melihat ke sekeliling kelas untuk meringankan firasatnya. Ada seorang perempuan duduk di kursi di bagian belakang ruangan, tidak berbicara dengan siapa pun. Dia merupakan seorang perempuan yang Sakuta yakini dia duduk di dekat Saki tempo hari.

Mungkin mereka sedang bertengkar, itu bukan pemandangan yang aneh di sekolah. Biasanya dia tidak khawatir tentang itu, tapi kali ini, dia tidak bisa melepaskan itu dari benaknya.

Itu mungkin karena dia terlihat mempunyai perasaan yang mirip seperti Tomoe.

Setelah periode pertama bahasa Inggris yang menyebalkan selesai, Sakuta mengintip ke kelas Mai. Namun, dia tidak ada di sana, dan tasnya juga tidak ada di kursinya.

Setelah menghadiri sisa empat pelajaran hari itu, dia melihat ke kelas anak kelas tiga ketika mereka hendak pergi, dan dia memang absen. Ketika dia bertanya kepada salah satu murid untuk berjaga-jaga, dia diberitahu kalau Mai tidak masuk hari ini oleh seorang murid sambil sedang menahan tawa. Sepertinya pengakuan cinta di depan seluruh sekolah masih meninggalkan efeknya.

"Terima kasih telah memberitahuku," jawabnya dengan sopan sebelum meninggalkan lantai kelas tiga. Ketika dia sedang mengganti sepatunya di loker dengan sepatu outdoor, dia merasa dia melupakan sesuatu.

"Oh iya, itu," ucapnya pada dirinya sendiri. Kamisato Saki memanggilnya ke atap pagi ini.

"Kau terlambat," dia memarahinya kesal ketika dia tiba di atap.

"Apa yang kau inginkan?" Dia bertanya terus terang, mengabaikan kemarahannya. Dia harus bekerja setelah ini, jadi dia tidak punya banyak waktu dan ingin menyelesaikan ini dengan cepat.

"Aku sudah bilang padamu untuk menjauh dari Yuuma."

"Aku yakin aku ingat kau berkata padaku untuk tidak berbicara dengannya," balasnya.

"Itu sama saja."

“Ah, sama saja. Aku tidak akan melupakannya. Tidak akan pernah, mungkin.”

Itulah seberapa besar dampak perkataannya. Jarang terjadi mempunyai seseorang yang begitu menunjukkan permusuhan. Mungkin hal semacam inilah yang membuat Yuuma tertarik. Memanggilnya ke atap tanpa bersama pengikutnya yang biasa menunjukkan rasa percaya dirinya yang sangat besar.

"Oh ya, ada apa dengan perempuan itu?"

"Hah?"

"Perempuan yang terpisah dari geng mu?"

"Itu tidak ada hubungannya denganmu," katanya, bahkan lebih kasar. Dia jelas marah, dan itu tidak tertuju pada Sakuta, itu mungkin pada gadis itu.

"Apa dia merebut laki-laki?"

"Ya," jawabnya. Sakuta bermaksud bercanda, tapi ternyata itu benar. Pacar Saki adalah Yuuma, dan Sakuta tidak berpikir kalau dia akan terpengaruh oleh perempuan lain dengan mudahnya. "Bukan aku," dia menjelaskan, "dia sembunyi-sembunyi main dengan cowok lain sendirian."

Sakuta tidak terlalu mengerti detailnya, tapi dia agak bisa memahami garis besarnya.

"Yang lebih penting lagi, apa-apaan cewek itu yang ada di lab?" Dia bertanya.

"Hah?"

“Hubungan macam apa yang dia miliki dengan Yuuma? Mereka sering bicara."

Bahkan tanpa menyebut namanya, dia jelas berbicara tentang Rio. Dia ingin diam-diam mengabaikannya dan mengganti topik, tapi pandangan perempuan itu sangat berbahaya. Bagaimana seharusnya ia menjawab?

"Tanya saja Kunimi," dia memutuskan seperti itu.

"Kau juga dekat dengannya, bukan?"

"Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan."

"Jawab saja!"

"Kau sangat sensitif ya..." dia nyaris menghindari bertanya apakah dia sedang menstruasi, menelan kata-katanya sendiri dan berhenti sebelum melanjutkan: "Apa kau lagi sembelit, Kamisato?"

"Wah!?"

"Maksudku, kau sangat sensitif."

"Mati! Sekarang juga!"

[OLI Fan Translation] Seishun Buta Yarou Volume 2


Wajah Saki memerah sambil berjalan marah-marah dari atap, membanting pintu di belakangnya.

"Makan lebih banyak serat," teriak Sakuta padanya. Sayangnya, dia tidak berpikir dia mendengar nasihatnya.

Kali ini, Sakuta beneran mengganti sepatunya di loker dan meninggalkan sekolah, keluar melalui gerbang dan menaiki kereta yang terkait dengan kereta Fujisawa dari peron, berlangsung selama sekitar lima belas menit.

Turun di terminal Fujisawa, dia membeli roti kari tepat setelah gerbang tiket dan pergi ke tempat kerja sambil makan.

"Selamat pagi," dia menyapa manajer, yang sedang berdiri tegak di kasir, saat dia memasuki restoran keluarga.

"Pagi, senang bertemu denganmu hari ini."

"Senang bertemu denganmu juga," jawab Sakuta sambil menahan menguap, berjalan lebih jauh ke dalam ke tempat istirahat. Ruang di belakang loker di sini digunakan sebagai ruang ganti pria. Para wanita memiliki ruang ganti mereka sendiri, tapi... yah, dunia ini memang tidak adil.

"Hei, pagi," kata Kunimi Yuuma sambil melangkah dari belakang loker.

"‘Yo," jawab Sakuta sembari mereka bertukar tempat dan dia mulai berganti baju. "Kunimi?"

Dia membuka seragamnya dan memasukkan lengan dan kepalanya melalui seragam restoran.

"Hm?"

"Ini menjengkelkan jadi aku akan memberitahumu langsung, pacarmu mendatangiku lagi hari ini."

"Astaga, malang sekali," Kunimi tertawa, seolah hal itu terjadi pada orang lain.

"Kau harus memilih, aku atau pacarmu."

"Hei, apa-apaan pilihan yang ekstrim itu? Aku akan meneleponnya malam ini. "

"Tolong telpon dia, serius."

Sakuta selesai membuka seragam sekolah dan beralih ke seragam celana panjang restoran.

"Oh ya, Kunimi."

"Apa lagi?"

"Ada orang yang lebih tua bernama Maesawa di klub bola basket?"

"Hm? Ya, Yousuke-senpai.”

Jadi nama lengkapnya Maesawa Yousuke, pikir Sakuta sebelum bertanya: "Orang seperti apa dia?"

"Yah, dia yang terbaik di basket di sekolah kita." Sementara Yuuma berbicara, Sakuta melangkah keluar ke ruang istirahat yang sebenarnya sambil mengikat celemeknya. "Dia juga cukup populer."

"Beri aku sesuatu yang membuatku membencinya."

"Tentang apa ini?" Kunimi bertanya dengan campuran kebingungan dan kegirangan. "Kalian bertengkar?"

"Sulit untuk dijelaskan, tapi tidak baik bagi batinku kalau aku berpikir dia orang yang baik."

Meskipun itu kecelakaan, ada kesalahpahaman aneh tentang hubungan Sakuta dengan Tomoe dan yang lebih penting, pengakuan cinta yang harusnya terjadi, tidak terjadi. Jika dia membohonginya, pada akhirnya itu akan terungkap, tapi dia masih merasa sedikit bersalah. Meskipun orang itu sedikit kasar.

"Yah, aku tidak suka berbicara buruk tentang orang lain, tapi..." kata Yuuma sebelum berhenti. Tampaknya, dia memang tidak ingin menggosipkan orang lain.

"Aku mengerti, dia punya semacam hobi yang menyimpang."

"Aku tidak tahu tentang itu, tapi dia mengeluh pacarnya tidak mau hohohihe dengannya jadi dia berpikir untuk putus... Dia juga sering menghina mantannya. Seperti 'Aku harap dia tidak berakhir sama'."

Jika Yuuma mau berbicara sejauh itu, maka dia pastinya senior yang tidak berguna. Kepopularitasan mungkin buruk bagi kepribadian orang.

"Tunggu, dia punya pacar?"

“Ya, anak kelas tiga dari sekolah lain. Dia sangat imut."

"Siapa yang lebih imut, dia atau Kamisato?"

"Tentu saja Kamisato."

Dia seharusnya bersyukur bahwa pacarnya mengatakan sesuatu seperti itu. Untuk sesaat, wajah Rio melayang di benaknya dan dia merasakan rasa bersalah.

"Terima kasih info berharganya."

Berkat informasi itu, dia mungkin bisa membenci Maesawa-senpai. Sakuta tidak dapat mengerti urat sarafnya, menembak Tomoe ketika dia sudah punya pacar.

Jam terus berdetak saat mereka berbicara, jadi mereka mulai bekerja dan menuju ke lantai restoran.

"Ah, Kunimi-kun, Azusagawa-kun, punya waktu sebentar?" Tanya manajer ketika mereka sedang dalam perjalanan.

"Tentu saja," jawab mereka sambil berbalik melihatnya. Ada seorang gadis mungil berdiri di sampingnya, dia tampak agak gugup dan mengenakan seragam pelayan yang baru.

"Koga-san akan bekerja di sini mulai hari ini, tolong ajarkan dia cara bekerja disini."

Sakuta mengenali gadis itu, dan Tomoe sendiri tampak terkejut melihat wajahnya. Di sebelahnya, Yuuma berbicara kepadanya:

"Huh, sekolahmu sama dengan kita bukan?"

"Ah, itu benar, kalian juga sekolah di SMA Minegahara. Kalau begitu aku akan menyerahkannya pada kalian sebagai seorang kouhai-mu, bukan hanya di sekolah."

"Aku Kunimi Yuuma, dia Azusagawa Sakuta, kita berdua kelas dua... Sebenarnya, kamu tahu Sakuta, kan?" Tomoe melirik ke samping, "ah ya, dia bilang kalian menendang bagian belakang satu sama lain, bukan?”

Tangan Tomoe langsung melesat ke belakang untuk menutupi bagian tubuh tersebut.

"Kenapa kau kasih tahu orang-orang tentang itu!?" Protesnya kebingungan, dengan mata sedikit berair.

"Aku tidak akan menyimpan sesuatu yang lucu untuk diriku sendiri."

"Aku tidak bisa mempercayaimu!"

Tomoe melotot sambil wajahnya memerah.

"Sepertinya kita tidak akan akrab," kata Sakuta, "Aku serahkan dia padamu, Kunimi."

"Ah, oi, Sakuta!" Mengabaikan panggilan Yuuma, Sakuta menuju ke lantai pertama.

Sakuta membalas budi telah menyerahkan pelatihan Tomoe pada Yuuma dengan bekerja lebih keras hari itu. Dia membimbing pelanggan ke meja mereka, menerima pesanan mereka, dan membawa makanan ke meja mereka secepat mungkin, sambil tetap berdiri di kasir ketika ada pelanggan yang pergi. Ketika tidak ada lagi yang harus dia lakukan, dia mengisi cangkir dan gelas di bar minuman.

Dia melihat Tomoe berlari-lari pada jam-jam sibuk di hari kerja pertamanya, sedang bekerja sekeras mungkin.

Dia diberi dua pekerjaan. Pertama adalah mengambil barang-barang yang pecah, yang kedua adalah merapikan meja yang kosong.

Melihat dia menjulurkan tangannya untuk membersihkan meja yang besar terlihat sedikit menawan. Namun, ada beberapa kesalahan yang tak dapat dibiarkan, perasaannya gundah gulana ketika ia melihat Tomoe tersandung sambil membawa piring-piring. Dia benar-benar menjatuhkan beberapa piring dan berkat tangkapan gesit Yuuma piring itu tidak pecah di lantai. Jika Sakuta yang sedang mengajarinya, piring-piring itu mungkin akan hancur berkeping-keping.

Jamuan makan malam berlalu dan secara signifikan menjadi lebih tenang. Ada beberapa meja yang tetap kosong dari awal, dan langit menjadi sangat gelap ketika jarum jam berdetak melewati jam delapan.

Sakuta masuk ke dalam untuk membawakan pesanan pelanggan, dan Yuuma berada di tengah-tengah menginstruksikan Tomoe tentang cara menangani peralatan makan di depan meja dapur. Mereka bekerja sambil mengobrol santai.

“Koga-san, kenapa kau mulai bekerja?” Tanya Yuuma.

"Aku punya banyak pengeluaran, hpku, pakaianku... Bagaimana denganmu, Kunimi-senpai?"

"Kurang lebih alasannya sama sepertimu."

Pekerjaan terus berlanjut sambil mereka berbincang-bincang. Mereka menghangatkan garpu dan pisau dengan air panas kemudian mengelapnya dengan kain lembut. Melakukan hal itu membuat peralatan makan jadi berkilau, dan Tomoe ter​​kagum-kagun ketika ia melihat peralatan makan itu sekarang tampak seperti baru.

Sementara Sakuta menyaksikan adegan itu, bel yang menandakan pelanggan masuk berbunyi, dan Sakuta dengan cepat kembali ke area utama.

Yang menunggunya adalah sekelompok tiga cewek muda yang agak ia kenali.

Mereka semua membuat ekspresi terkejut. Mereka mengenakan seragam yang familiar, dan seperti yang diduga, itu adalah seragam musim panas dari sekolah yang dituju Sakuta. Ketiga gadis itu adalah teman Tomoe, dan kerah bajunya sengaja dibuat tidak rapi. Dia pernah melihat mereka sebelumnya. Gadis yang di tengah itu mempunyai rambut panjang dan sedang menatap Sakuta dengan sedikit galak. Seketika itu juga di belakangnya ada seorang gadis mengenakan kacamata besar yang modis.

"Jadi ini kenapa Tomoe kerja disini!" Ucap gadis itu kepada gadis tinggi berambut pendek di belakangnya.

"Kayaknya gitu," jawab gadis yang di tengah.

"Meja untuk tiga orang?" Sela Sakuta dengan sebuah pertanyaan.

"Ya," jawab gadis pertama, mewakilkan mereka. Pembicaraan singkat itu membuat Sakuta tahu bahwa dia ini adalah 'Rena-chan'. Sikapnya sedikit mirip dengan seorang perempuan di kelasnya Sakuta... pacar Yuuma, Kamisato Saki. Ekspresi wajahnya menunjukkan kepercayaan diri seorang gadis yang sangat sadar bahwa dia adalah 'yang paling imut di kelas'.

Tanda yang pertama adalah roknya yang pendek, diikuti dengan kerahnya yang tertarik ke bawah dan simpulan dasinya yang modis. Dia mengumpulkan cewek-cewek di sekitarnya, dan mereka menirunya.

‘Imut’ adalah keadilan, dan 'tidak menarik' dan 'norak' adalah kejatahan. Seperti itulah sang ratu memerintah kelasnya dari tahtanya.

"Apa ini sesuai keinginanmu," dia bertanya, setelah membimbing mereka ke bilik empat kursi.

"Ya," jawab Rena sekali lagi. Ketika Sakuta melihat wajahnya dari samping sambil ia sedang duduk, Sakuta ingat alasan Tomoe lari dari pengakuan Maesawa-senpai. Dilihat dari kepercayaan diri Rena yang transparan, situasi mungkin akan berkembang seperti yang dipikirkan Tomoe. Diusir dari geng dapat terjadi pada murid-murid di seluruh kelas. Sakuta bahkan sudah melihat seseorang dalam situasi yang sama di kelasnya sendiri hari itu.

Dia punya perasaan bahwa Tomoe sebenarnya tidak terlalu memikirkannya.

Dua gadis lainnya duduk di seberang Rena setelah ia duduk. Urutan mereka duduk dan tidak adanya keraguan terhadap tindakan mereka membuatnya tampak seperti itulah yang biasanya mereka lakukan. Tomoe mungkin memiliki kursi yang sudah dipesan di sebelah Rena jika dia sedang bersama mereka.

"Setelah kalian siap memesan, silakan tekan tombol untuk memberitahukannya padaku."

"Ah, tunggu."

"Kau sudah memutuskan?" Tanya Sakuta, membuka terminal pesanan.

"Apa kau serius dengan Tomoe?"

"Maaf, kami tidak melayani ‘apa kau serius dengan Tomoe’ di sini."

"Aku serius disini," desak Rena.

Dia memang sedikit sopan tapi tidak menunjukkan sedikitpun rasa hormat. Alih-alih kesal, ketiga gadis itu anehnya terlihat tertarik dan memiliki tatapan yang ramah.

"Kau baru saja ditolak Sakurajima Mai-senpai, jadi itu terlihat sedikit meragukan," lanjutnya.

"Apa maksudmu?" Tanya Sakuta, mencoba memahami apa sebenarnya situasinya.

"Tomoe udah jelas imut, tapi apa yang kau suka darinya?" Tanya gadis berkacamata itu.

"Aku pikir kalian salah paham tentang sesuatu, mungkin."

"Kau tidak perlu menyembunyikannya, kita sudah tahu," dia tertawa.

"Ah, itu Tomoe," sela si gadis yang lebih tinggi, melihat ke bagian dalam restoran tepat ketika Tomoe keluar. Seolah merasakan tatapan mereka, dia mendongak dan melihat mereka. Dia tampak terkejut sejenak dan kemudian gelisah. Dia berbalik seolah ingin kembali tapi sepertinya berubah pikiran dan berlari mendekat.

“Ka-kalian beneran datang?” Tanya Tomoe.

"Kita udah bilang akan datang."

"Kau kelihatan imut pake itu."

"Ya, benar."

Dalam hitungan detik, mereka bersikap seolah-olah mereka berada di sekolah, menghujaninya dengan pujian dan sepenuhnya mengabaikan Sakuta. Sungguh sikap yang semena-mena, tidak mampu menghargai siapa pun kecuali diri mereka sendiri. Sakuta sungguh ingin pergi secepat mungkin.

"Senpai, kita tidak akan memaafkanmu jika kau hanya bermain-main dengannya," peringat Rena dari tempat ia menarik lengan Tomoe, meskipun sejujurnya dia tidak terlalu mengganggu. Sakuta selalu diintimidasi oleh Mai setiap hari, jadi itu seperti angin lembut baginya.

"R-Rena-chan, tidak apa-apa," Tomoe bersikeras dengan ekspresi yang sedikit samar-samar, melirik Sakuta dari sisi matanya dan memberinya sinyal.

Dia kurang lebih mengerti situasinya. Rupanya, mereka bertiga berpikiran sama seperti Maesawa-senpai, dan bukannya mencoba menjelaskannya, Tomoe ingin membiarkannya.

"PDKT itu sangat penting untuk hal semacam ini, kau harus ber-inisiatif," saran Rena.

"Ka-kau benar," kata Tomoe, sambil memohon bantuan pada Sakuta menggunakan matanya. Pada saat itu, ada pelanggan masuk.

"Koga-san, antarkan mereka ke meja mereka," intruksi Sakuta sebelum berbalik memanggil Rena dan teman-temannya, "Setelah kau siap memesan, panggil aku pakai tombol itu."

Kemudian ia pergi untuk mengambil pesanan meja lain. Tomoe menggenggam tangan geng itu dan meminta maaf sebelum berlari ke pintu masuk dan pelanggan yang berdiri di sana.

Ketika Sakuta mengambil pesanan dari keluarga berempat, dia bisa merasakan tatapan Rena dan teman-temannya padanya. Untuk menghindari mereka, dia pergi ke bagian lebih dalam restoran, dengan Tomoe mengikuti beberapa saat kemudian.

"Um, Senpai, bisakah kita-" Dia memulai pembicaraan, sebelum Sakuta memotongnya dengan:

"Kau juga selesai jam sembilan, bukan?"

"Eh?"

"Kita bisa bicara sepulang kerja."

"Tapi, uh, ada banyak yang ingin aku je-"

Tomoe gelisah, panik.

"Sampai kau menjelaskan, kesalahpahaman temanmu aku serahkan padamu sendirian."

"Me-mengerti."

Yuuma memanggil Tomoe dan dia kembali bekerja. Melihat dari belakang, Sakuta merasa bahwa situasinya berkembang dengan cara yang menjengkelkan yang tidak sepenuhnya ia pahami.

Part 3