Hello, minyak ikan disini. Karena kesibukan saya, tl pun tersendat dan begitulah. Ini adalah projek kedua saya, dimana saya diam-diam mengerjakan ini di sela-sela kesibukan. Untuk Eromanga, chapter 1 yang volume 8 nya sudah setengah jalan, jadi tunggu aja.
Satu lagi, Facebook itu kaya ee ya, masa fp gue di hide terus, tai lah. Dan begitulah, karena fp gue gatau kenapa di hide terus, jadi saya putuskan tidak membuat fp untuk blog ini. males cok.
Mungkin itu saja yang ingin saya sampaikan kali ini, happy reading :)



1

"Kerja bagus, tim Jepang!" Penyiar yang bersemengat itu memulai berita pagi. "Selamat pagi, hari ini hari Jumat, tanggal 27 Juni. Saya pikir kita akan memulai hari dengan berita sepakbola!"

TV di ruang keluarga mempertontonkan highlight pertandingan piala dunia yang mengambil tempat di sisi lain bumi ini. Itu pertandingan liga group kedua, yang tayang saat tengah malam bagi negara Jepang. Tepat sebelum pergantian babak, dan tim Jepang tertinggal satu poin. Pemain nomor 10 menggiring bola sepanjang lapangan tapi dihentikan oleh pertahanan musuh yang terlalu bersemangat. Peluit menggema ke seluruh stadion dan mereka diberi tendangan bebas dari belakang area pinalti.

Pemain bernomor 4 menyimpan bolanya dan mundur selangkah demi selangkah. Kalian bisa merasakan ketegangannya, bahkan lewat layar.

Tanpa sadar Sakuta memperhatikan layar.

"Aku... pernah melihat ini."

Dia memang tidak menonton live pertandingan tengah malam itu. Sakuta sudah menonton highlight nya kemarin pagi. Bolanya akan melewati penjaga gawang dan menemukan rumahnya di dalam net gawang.

Sambil menahan nafasnya, Sakuta menonton highlight tersebut. Bolanya melesat melengkung melewati penjaga persis seperti yang diingat Sakuta, terbang menuju gawang.

Mereka pun menyamakan skornya dan musuhnya mengunyah bibir mereka dalam kekuatiran. Pemain nomor 4 itu pun bersorak kemenangan, dibantu oleh pemain lain dan supporter mereka.

Bersama dengan momentum gol itu, tim Jepang memperoleh poin tambahan di babak kedua dan mempertahankan kepemimpinan menuju kemenangan yang meriah.

Hasilnya keluar sama persis dengan yang ia ingat, jadi untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau dia tidak gila, dia kembali ke kamarnya untuk memeriksa jam wekernya. Jam itu berada di pinggir kasurnya, jam itu mempunyai layar digital yang memperlihatkan tanggal dan juga pukul berapa.

Tanggal 27 Juni.

Sama dengan yang baru saja disiarkan oleh penyiar itu.

"Apa.... maksudnya..." Dari apa yang Sakuta ingat, sekarang seharusnya tanggal 28. Tapi baik TV maupun jam ini bilang kalau sekarang tanggal 27. Jadi hari ini adalah kemarin, dan kemarin adalah hari ini. "...Begitu, ini mimpi."

Sakuta kembali ke kasur, menutup dirinya dengan selimut lagi dan pergi tidur.

Jika hari ini adalah kemarin, dia bisa terus tidur sampai besok. Tepat setelah dia memikirkan itu dan hendak menutup matanya, pintunya terbuka.

"Onii-chan, bukankah kau baru saja bangun?" Dia mendengar suara adik perempuannya. Dia mendekati Sakuta dengan suara langkah kaki yang pelan. "Kau tidak bisa tidur lagi, bangunlah."

Dia mengguncangnya.

"Aku akan tidur sampai besok."

"Tidak apa-apa bolos sekolah?"

"Yeah."

"Kalau begitu aku akan tidur denganmu," ucapnya, membenamkan diri ke dalam selimut.

"Kalau begitu aku akan bangun."

Dia tiba-tiba bangkit.

"Eh? Udah lagi!?"

Sakuta pun berdiri, hampir seperti sedang mencegah Kaede tidur di kasurnya yang mengenakan piyama pandanya. Dia tidak jadi kabur dari kenyataan dan kembali ke ruang keluarga. Berita pagi masih membicarakan tentang sepakbola.

Kaede datang dengan suara langkah kaki yang rendah di belakangnya.

"Hey, Kaede."

"Iya?"

"Aku akan tanya sesuatu yang sedikit aneh."

"Bu-bukan sesuatu yang mesum, kan?"

"Bukan."

"Ka-kau tidak bisa melakukan sesuatu seperti itu, Onii-chan," ucapnya sambil menggeliat dan menutupi wajahnya, tidak mendengarkan kakaknya.

"Apa kau kemarin lihat berita ini?"

"...Berita sepakbola?" Tanyanya, mengintip dari celah di jarinya.

"Iya."

"Umm, tidak?" Kaede hampir bertanya, bingung dengan pertanyaannya dan sedikit mengkerutkan kening.

"Sudah pasti... kalau begitu tidak apa-apa."

Ketika dia menjawab, Sakuta merasakan mual di perutnya, seperti dia akan terlibat sesuatu yang buruk.

Masih merasa seperti sedang berdelusi, Sakuta memakan sarapan bersama Kaede, dan masih belum paham dengan apa yang terjadi, berangkat ke sekolah.

Mungkin akan menjadi lebih jelas jika aku pergi keluar?, pikirnya.

"Dadah, Onii-chan."

Kaede melihatnya pergi sambil tersenyum. Bertentangan dengan kebiasaanya sehari-hari, dia pergi menuju stasiun sambil memerhatikan sekitarnya. Dia berjalan melewati apartemen dan rumah-rumah terpisah yang berderet di jalan sisi taman dan menyeberangi jembatan yang keluar di jalan utama. Sambil mendekati stasiun, pandangannya dipenuhi dengan hotel-hotel bisnis dan grosir elektronik.

Sepanjang perjalanan Sakuta, tidak ada satupun yang berbeda. Ada komuter lain yang menuju Stasiun yang sama dengannya, ibu rumah tangga sedang mengeluarkan rongsokan dan bahkan kakek tua yang memiliki toko bunga sedang membersihkan tokonya.

Butuh sekitar sepuluh menit baginya berjalan ke Stasiun Fujisawa, tepat di tengah kota dengan nama yang sama, di Prefektur Kanagawa. Ada banyak pekerja kantoran pulang pergi dan para pelajar berjalan mondar-mandir di area tersebut. Para pekerja kantoran itu beralih ke Jalur Tokaido dan para murid berjalan ke gerbang tiket Odakyu yang menuju stasiun Fujisawa Enoden, sama seperti tujuan Sakuta. Tidak ada satupun dari mereka yang tampaknya berjalan dengan bimbang, hanya terus berjalan dengan cepat menuju tujuan mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang bahkan melirik-lirik, hanya Sakuta yang melihat-lihat sekitarnya dengan gelisah, memperhatikan gerakan orang lain.

"Apa itu cuma aku...?"

Ketika melewati gerbang tiket, dia dapat merasakan perasaan tidak enak menusuk kulitnya yang menandakan kalau ini memang ada yang salah.

Dia menunggu di peron selama dua menit sebelum keretanya tiba. Keretanya hanya sepanjang empat gerbong dan terlihat kuno. Lonceng berdering untuk memperingatkan pintu akan ditutup dan kereta akan segera berangkat.

Setelah diguncang-guncang kereta selama sekitar lima belas menit mereka sampai di bagian pantai Stasiun Shichirigama, tinggal butuh beberapa menit untuk berjalan menuju SMA Minegahara, tempat Sakuta bersekolah. Murid-murid lain yang berseragam sama berhamburan keluar dari peron. Aroma angin laut yang asin tercium oleh Sakuta ketika dia melangkah keluar, tanda-tanda musim panas sudah mulai dekat. Dalam waktu sepuluh hari, pantai terdekat akan dibuka dan dipenuhi orang-orang berenang di laut.

Ketika dia melihat kearah laut, dia dapat melihat beberapa peselancar angin di laut yang memanfaatkan hari cerah di musim hujan. Itu merupakan pemandangan yang biasa, tidak ada yang aneh.

Jalan pendek menuju sekolah pun sama seperti biasa, padat dengan Pelajar SMA Minegahara. Ada laki-laki kelas satu yang sedang bercanda dengan teman sekelasnya, ada murid kelas tiga yang sedang memegang buku, cewek-cewek sedang membicarakan tentang karaoke yang mereka lakukan setelah pulang sekolah kemarin malam...

Kemanapun ia perhatikan, Sakuta tidak melihat apa-apa selain pemandangan yang seperti biasa.

Tidak ada satupun percakapan yang seperti ini:

"Hey, bukankah ini kedua kalinya hari ini terjadi sekarang?"

"Iya kan? Aku juga, aku juga."

"Seriuslah itu nakut-nakutin gw."

Hanya Sakuta yang berjalan sambil linglung, bingung terhadap tanggal 27 Juni yang kedua.

"'Oi, Sakuta. Rambutmu berantakan lagi," satu dari kedua temannya, Kunimi Yuuma, memanggilnya setelah ia melewati gerbang sekolah dan memasuki sekolah.

Yuuma datang menyapa yang baru saja latihan di klub basketnya, dan mengenakan celana jogging selutut dan T-shirt. Ada banyak murid di klub olahraga yang pergi ke kelas seperti itu dan tidak mengenakan seragam untuk seharian, Yuuma salah satunya.

"Ini gaya rambut."

"Trend baru, kah?" Balas Yuuma sambil tersenyum. Ini juga normal... sebenarnya, Sakuta mengingat percakapan ini, percakapannya sama persis seperti ingatannya dari 'kemarin'.

Sakuta terdiam.

"Ada apa, Sakuta?"

"...Tidak ada."

"Serius, ada apa?"

"Aku hanya kesal kau sangat populer."

"Huh? Apa maksudnya itu?"

Sakuta tidak mengatakan apapun tentang hari ini yang merupakan kedua kalinya terjadi dan hanya mengikuti arus pembicaraan hingga mereka sampai di ruang kelas.

Empat kelas yang diikuti Sakuta pagi itu: Matematika, Fisika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jepang, bersama dengan topik-topik pembicaraan yang juga mirip seperti kemarin. Bahkan lagu guru Matemetika yang dinyanyikan beliau "Ini akan muncul di ujian", candaan garing guru Fisika, guru Bahasa Inggris "Dengarkan aku, Tuan Azusagawa" dan lipstik yang ada di kerah baju guru Bahasa Jepang semuanya sama dengan yang Sakuta alami 'kemarin'.

Seiring waktu berlalu, keraguan Sakuta mulai berubah menjadi keyakinan.

Hanya ingatanku saja yang kembali ke hari kemarin.

Konsep itu merubah pemandangan ruang kelas yang tampak damai menjadi sesuatu yang menyeramkan. Apakah dunia ini jadi gila, atau Sakuta sendiri?

"Dunia yang menggila, tentu saja." ucapnya pada diri sendiri.

Seluruh tubuhnya merasa biasa saja, tidak ada yang berbeda, tidak ada hal pula yang membuat tubuhnya terasa seperti sedang di dalam mimpi.

Masih bergulat dengan pemikiran ini, istirahat makan siang pun tiba.

"Jika hari ini adalam kemarin..."

Sakuta punya janji penting untuk menepati istirahat makan siang itu, dan memastikan dia telah meninggalkan ruang kelas dua.

Sepuluh menit kemudian, Sakuta sedang duduk di dalam ruang kelas yang terbuka di lantai tiga. Laut terlihat dari jendela dan yang sedang duduk di hadapannya adalah Sakurajima Mai, murid kelas tiga dan senior nya.

Dia membuat ekspresi dingin di wajah cantiknya. Parasnya dapat membuat aktris-aktris lain menjadi iri... sebenarnya; dia sendiri seorang aktris; dengan bakat murni yang ia miliki sejak kecil. Dia adalah seorang selebriti yang kepopularitasannya sudah diketahui ke penghujung negara. Beberapa tahun kebelakang dia hiatus, tapi akhir-akhir ini sudah kembali ke aktifitasnya.

Diatas meja diantara mereka ada makan siang yang ia buat untuk Sakuta, makanan yang sama dengan yang ia makan di hari sebelumnya.

Ayam goreng bumbu, telur goreng, rumput laut dan kacang rebus, serta salad kentang yang dihiasi tomat ceri.

Makanan demi makanan, dia menggunakan sumpit untuk memasukannya ke mulut agar bisa dicicipi. Makanan-makanan ini sedikit kurang bumbu, tapi semuanya punya citarasa yang lembut. Bukan hanya bentuknya, rasanya juga sama seperti ingatannya.

Masih benar-benar bingung dengan apa yang terjadi, Sakuta tidak mengatakan apapun.

"Apa itu gak enak?"

"Hm?"

Sakuta mengangkat kepalanya sebagai tanggapan terhadap suara Mai, bertemu dengan mata cemberutnya. Mai tidak menyembunyikan perasaan tidak senangnya sedikitpun dan hanya menatap Sakuta dengan tajam. Tidak bisa berkata-kata, Sakuta sudah benar-benar lupa untuk memberikan pendapatnya terhadap makanan buatan Mai. Atau lebih tepatnya, karena dia punya ingatan kalau dia sudah melakukannya, jadi dia pikir kalau dia sudah melakukannya.

"Ini sangat enak," dia meyakinkannya.

"Sama sekali tidak terlihat kau berpikir seperti itu."

"Ini memang enak. Saking enaknya aku ingin makan ini setiap hari."

"Aku tidak akan kalah terhadap lamaran bergaya Showa. Apa sebenarnya yang sedang kau pikirkan saat memakan masakanku?"

Mai sangat peka.

"Aku hanya berpikir betapa bahagianya diriku bisa memakan masakan yang kau buat untukku."

Dia tidak yakin apakah seharusnya membicarakan ini dengan Mai. Dia sendiri benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi, jadi memberitahu Mai pendapatnya yang samar-samar seperti itu hanya akan membuatnya khawatir.

"Hmmm," Mai mengeluarkan suara penuh keraguan.

"Mai-san, aku boleh tanya sesuatu yang aneh?"

"Sesuatu yang mesum?" Kaede juga sama mengatakan itu, kenapa semua orang selalu berpikiran kesitu? Itu sangat menjengkelkan. "Aku tidak akan memberitahumu warna pakaian dalam yang sedang kupakai."

"Aku sudah menikmatinya hanya dengan membayangkannya saja, jadi tidak perlu."

"Uwah, kau menyeramkan." Sakuta bermaksud bercanda, tapi Mai ketakutan, "jadi, apa sesuatu yang aneh itu?"

"Aku ini apa bagimu, Mai-san?"

"Cuma junior yang bermuka tebal," jawabnya tanpa ragu sedikitpun, menitikberatkan 'cuma' untuk membuat jengkel Sakuta.

"...Begitu. Lalu apa yang kau pikirkan terhadapku?"

"Kau memiliki cinta tak terbalas pada senpai yang sangat baik... dan cantik, yang sangat tulus dari lubuk hatimu yang paling dalam."

"Itu benar," sambil berbicara ia memasukkan beberapa telur ke mulutnya dan mengunyahnya. Ini memang memalukan, tapi hubungan mereka telah kembali seperti semula, meskipun Mai telah setuju akan berpacaran dengannya.

Mereka harusnya sudah berpacaran, tapi dia telah mundur kembali menjadi junior yang berwajah tebal. Akan tetapi, jika ada fenomena aneh yang menghalangi percintaan Sakuta, dia hanya harus kencan lagi dengan Mai.

Dia tidak bisa jadi galau hanya karena kemunduran yang kecil ini, menyerah apalagi.

"Itu sungguh pertanyaan yang aneh, serius, ada apa?" Mai tampak ragu padanya.

"Kupikir aku harus memastikan situasi sebelum melangkah lebih jauh," Sakuta menghindari pertanyaan dengan alasan yang tampak masuk akal. Dia tidak bohong, dia sungguh ingin tahu apa yang sedang terjadi dengan situasi yang tak dapat dimengerti ini.

"Aku sedikit meragukannya," Ucap Mai sambil ia menyipitkan matanya, menatap tajam pada wajahnya.

"Yang lebih penting lagi, Mai-san."

"Jangan hindari topiknya."

"Aku mencintaimu, berpacaranlah denganku." Lanjut Sakuta seolah-olah ia tak mendengarnya.

Mai terus menatap tajam padanya.

"Aku bilang jangan hindari topiknya."

"Aku juga lebih suka kau tidak menghindari pengakuanku."

"Aku capek mendengarnya."

"Begitu... jadi ini gagal. Kalau begitu kupikir aku harus mendekati orang lain."

"Hey, tu-"

"Terima kasih atas segalanya sampai sekarang," potongnya sambil membungkuk dengan sopan, kecewa karena cinta tak terbalas.

"A-aku tidak bilang tidak... Apa, kau menyerah?" Mai menatapnya sambil cemberut.

"Kalau begitu kamu mau?"

"Ugh... kau sangat tidak sopan meskipun kamu itu cuma Sakuta."

"Mau?" Tanyanya lagi, belum menyerah.

"...Iya," jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar sambil mengangguk pelan, "Aku mau."

Kemudian, seperti sedang menyembunyikan rasa malunya, tanpa berkata-kata Mai memasukkan telur goreng ke mulutnya. Tingkahnya sangat imut Sakuta pun jadi menggigil di seluruh tubuhnya.

"Mai-san."

"A-apa?"

"Aku boleh memelukmu?"

"Alasannya apa," Tanya mai dengan hati-hati, matanya melihat kearah lain sambil melirik-lirik padanya.

"Karena kamu sangat imut sekarang."

"Kalau begitu tidak, sudah pasti tidak."

"Ehhh?"

"Kau terlihat seperti akan memelukku dan mendorongku... Selain itu, itu bukan sesuatu yang bisa aku katakan 'iya, tentu' dengan santai."

Omelan Mai terus berlanjut.

Kencan makan siang mereka diakhiri dengan bel peringatan tanda kelas dimulai dan pasangan itu berpisah ke ruang kelasnya masing-masing.

Di perjalanannya, Sakuta melihat seseorang yang ia kenal di salah satu ruang tangga yang dia lewati. Dia memiliki potongan rambut bob pendek seperti yang sedang trend saat ini, dan ada sedikit makeup di pipinya untuk menambahkan sedikit warna, memberikan kesan lembut pada ekspresi wajahnya secara menyeluruh.

Namanya Koga Tomoe.

Dia satu tahun dibawah Sakuta, yang pernah salah mengira kalau Sakuta adalah orang mesum. Pertemuan itu telah meninggalkan jejak yang cukup besar sehingga dia dapat mengingat namanya. Pada waktu itu, dia hanya sedang mencoba menolong anak yang tersesat mencari ibunya, murni berasal dari kebaikan hatinya, tapi meskipun begitu, Tomoe berteriak 'Matilah, kau lolicon!' dan menendang bokongnya dengan keras.

Dia adalah orang yang sama, tapi tampak kepalanya sedang menunduk ke bawah. Melihat lebih dekat, Sakuta melihat dia sedang berdiri di hadapan seseorang. Seorang laki-laki yang kurus dan tinggi. Meski begitu dia memiliki tubuh proporsional dan kemungkinan ada di klub olahraga. Rambutnya coklat, dan sedang menginjak tumit sepatu indoor-nya. Seragamnya agak lusuh, jadi kemungkinan dia murid kelas tiga, seorang lelaki tampan yang klasik.

"Maesawa-senpai... apa yang ingin kau bicarakan?" Tomoe melihatnya dengan gugup. Tampaknya, laki-laki itu dipanggil Maesawa.

"Hei, mau berpacaran denganku?"

"Eh!?"

"Kau tidak mau?"

"A-ah, um, uh... biarku pikir-pikir dulu," Jawab Tomoe dengan kacau.

"Oke, aku akan menunggu jawabanmu," Balas Maesawa dengan mulus sebelum menaiki tangga. Bertabrakan dengannya akan merepotkan, jadi Sakuta dengan cepat melangkah keluar ke koridor.

"Dia populer. Yah, dia imut," biasanya Sakuta akan mengharapkan itu berakhir dengan buruk, tapi dia sedang dalam mood untuk merayakan kebahagian orang lain hari ini. Lagipula, dia berhasil berpacaran dengan Mai. "Sekarang... seandainya besok datang, semuanya akan sempurna."

Itulah kekuatiran terbesar Sakuta saat ini.

Malam itu, Sakuta lelah melakukan hal yang sama, jadi memutuskan untuk mempraktekan rencananya, semalaman.

Saat dia bangun pagi tadi, dia bangun ke hari sebelumnya, jadi apa yang terjadi jika dia tidak tidur? Jadi yang akan ia lakukan adalah untuk tidak tidur dan menunggu sampai besok.

Ketika sudah mencapai jam dua pagi, Sakuta sedikit menguap sambil menyalakan TV untuk mengalihkan perhatian. Pertandingan sepak bola sedang ditayangkan di layar. Para pemainnya mengenakan kaos biru tua, mereka adalah Samurai Biru, tim nasional Jepang, dan pemain terbaiknya pula sedang bermain.

"Seriusan, mereka bermain dua hari berturut-turut..." Meskipun mereka punya jadwal yang ketat, peraturan seharusnya memberi mereka waktu sedikitnya rentang waktu tiga hari di setiap pertandingan... "Hmm?"

Sesuatu menarik perhatian Sakuta. Sambil menonton pertandingan itu berjalan, dia menyadari ada yang aneh.

"Aku sudah melihat ini." gumamnya.

Itu tepat sebelum babak pertama selesai... Pemain nomor 10 menerima operan di tengah lapang dan menggiring bola dengan cepat ke dalam setengah tim lawan. Selagi ia menghindari dua pemain, salah satu musuh mereka menendangnya dari belakang. Peluit ditiup tepat sebelum area pinalti sedikit saja, memberikan kesempatan tendangan bebas untuk Jepang.

Kejadian itu sama dengan yang ia tonton pagi itu di berita. Tapi tulisan LIVE terpampang jelas di sisi atas kanan layar, jadi apa yang sedang diperlihatkan adalah transmisi satelit dari pertandingan pada saat itu juga, di sisi lain bumi ini.

"...Sangat lucu." Dia terburu-buru kembali ke kamarnya untuk memeriksa jamnya. Bersamaan dengan pukul sepuluh menit lewat jam dua pagi, layar itu menampilkan tanggal '27 Juni'.

Sakuta tidak mengatakan apapun. Dia melemahkan tubuhnya, berpikir kalau sekarang sudah besok, dan malah kembali ke hari kemarin.

Kembali ke ruang keluarga, Sakuta menonton pertandingannya. Dengan bunyi peluit dari wasit, pemain nomor 4 pun berlari dan menendang bolanya. Bola itu akan masuk ke dalam net... tetapi seperti sudah tak terelakkan lagi, tendangan yang kuat itu mengenai tiang dan memantul ke lapang, dimana bola itu lekas di buang jauh oleh gelandang bertahan, tidak memberikan poin untuk Jepang.

"Huh? Apa?" Hal itu jadi berakhir berbeda dibandingkan dengan yang Sakuta pikirkan, dan dia ingat ia berbicara dengan temannya, Futaba Rio.

"Jadi, sepertinya... jika tim sepakbola Jepang bertanding dan jika aku hanya melihat beritanya saja maka mereka menang, tapi jika aku menontonnya langsung mereka kalah?"

"Kau seharusnya jangan pernah lagi menonton pertandingan sepakbola demi tim kita. Jangan lihat itu dua kali."

Pembicaraan itu terjadi ketika mereka membicarakan sesuatu yang mirip... pengamatan mempunyai pengaruh pada hasilnya, pikirnya.

"Tidak, tidak mungkin..."

Hanya menonton pertandingannya saja tidak akan membuat Jepang kalah.

Sambil berdoa, Sakuta lanjut menonton pertandingan sampai peluit terakhir, mendukung mereka. Jepang tidak dapat menyusul ketertinggalan satu poin mereka dan pertandingan pun selesai, kalah dengan skor 0-1.

Pembawa berita dan komentator melihat kembali beberapa kesalahan yang dibuat oleh tim tersebut. Membicarakan bagaimana tim itu mempunyai kebiasaan buruk tidak menindaklanjuti momen-momen penentuan... itu adalah poin lemah tim Jepang yang sering dibicarakan.

Pembawa berita itu memberitahu Sakuta tentang bagaimana tim itu harus memenangkan pertandingan selanjutnya menghadapi negara besar untuk lolos dari babak grup.

"Aku harus membicarakan ini ke Futaba besok... Sebenarnya hari ini, tapi juga kemarin..."

Sakuta tidak bisa melakukan apapun selain memegang kepalanya dengan kedua tangan sembari duduk sendiri di ruang keluarga di kedalaman malam.

Part 2