"Apa, sungguh!? Kau yakin itu tidak apa-apa!?"
"Wow, tidak menyangka kau yang menawarkan. Kupikir kau tipe orang yang tidak menyukai hal itu."
Pagi setelah sampai di sekolah , Hiiragi sedang berbicara dengan Sudou dan Shuuji di depan ruang kelas.
"I-iya... Tidak apa-apa," ucap Hiiragi tanpa melihat mata mereka. "Aku tidak bisa menyambut kalian dengan megah, tapi kalian tidak akan menggangguku jika kalian datang..."
Beberapa minggu setelah karaoke, Sudou dan Shuuji sudah menganggap Hiiragi layaknya teman mereka. Jika mereka melihatnya di sekolah mereka akan berbicara dengannya, dan sepertinya mereka bahkan sudah saling mengirim pesan di LINE.
Itu sendiri merupakan keberuntungan yang bagus. Mereka berdua merupakan latihan yang bagus buat Hiiragi. Tapi akan sangat menyebalkan jika aku yang ada di posisinya.
Namun, masalahnya,
"Se-serius, jangan terlalu banyak berharap..."
Ada di Hiiragi. Dia masih canggung saat berbicara dengan orang lain.
"Rumahnya kecil dan sudah tua, jadi mungkin kalian akan terkejut..."
Selama percakapan santai itu, dia masih waspada seperti kucing di rumah baru. Sekarangpun, ekspresinya masih sangat kaku.
──Masalahnya bukan pada umurnya, jenis kelamin ataupun kepribadiannya, apalagi penampilannya. Hanya saja, jika hanya ada satu hal yang selaras denganku dari lubuk hati yang paling dalam, niscaya, aku tidak akan takut apapun.
Kalimat ini ada di "Usia 14 Tahun" saat adegan dimana Tokiko khawatir akan jarak orang lain.
Mungkin itu penyebabnya ia tidak bisa lebih dekat dengan mereka.
Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa "selaras dari lubuk hatinya yang paling dalam". Dia tidak punya kemiripan yang umum dengan mereka, jadi tidak peduli berapa lama waktu yang berlalu, jarak antara mereka akan tetap sama.
Tapi itu sudah jelas, lagipula, dari sudut pandang kita, mereka berdua terlihat seperti alien. Cara kita merasakan, moral kita, pandangan dunia kita, pandangan kehidupan kita, semuanya berbeda.
"... Kurasa saatnya giliranku."
Aku bangkit dari kursiku dan pergi menuju mereka. Sangat menyebalkan hal pertama yang dilakukan di pagi hari adalah berbicara dengan Sudou dan Shuuji, tapi aku tidak bisa membiarkan Hiiragi seperti itu.
"Ada apa, Hiiragi? Didesak oleh mereka?"
Saat aku bertanya, lebih cepat dari Hiiragi, Sudou membuka mulutnya:
"Ah! Apa maksudnya itu!? Kali ini kita tidak memaksanya melakukan apapun!"
"Jadi kau sadar kalau biasanya kau begitu..."
"Umm, kita sedang membicarakan kelompok belajar..." Hiiragi mulai menjelaskan padaku. "Sebentar lagi UTS, bukan? Jadi jika kita semua belajar bersama mungkin kita akan membuat perkembangan..."
"Aku seriusan lagi dalam masalah~..." kata Sudou, memberengut. "Kalau begini terus aku yakin bakal dapet nilai merah. Kau tidak bisa tertawa kalau dapat nilai merah di ujian pertama di SMA..."
Di SMA Miyamae kita punya ujian tengah senester dan ujian akhir semester.
Bisa ditebak dari namanya, itu adalah ujian di tengah dan akhir semester, dan dua-duanya punya dampak langsung terhadap nilai kita. Jika kau dapat nilai merah kau harus pergi ke kelas tambahan.
Kesampingkan Shuuji yang superior, bagi Sudou yang punya nilai kurang lebih sama sepertiku, UTS bulan ini sangatlah menyulitkan. Kalau aku, aku sudah mulai belajar sedikit untuk menghindari kelas tambahan.
"Kalau bisa aku lebih suka melakukan sesuatunya sendirian!" kata Sudou, mulai menjustifikasi dirinya padaku. "Waktu pulang ke rumah aku kepikiran untuk melakukan subjek ini atau itu, serius. Tapi, aku tidak bisa konsentrasi di rumah... Adikku ingin bermain denganku, atau aku hanya nonton video di internet, dan di akhir hanya berakhir seperti itu..."
"Kau cuma malas..."
"Aku tahu!" Aku keceplosan membalasnya, jadi itu membuat Sudou bereaksi. "Aku tahu itu! Tapi aku tidak tahu harus ngapain!"
"Lalu, Sudou pikir kalau dia mungkin akan belajar jika ada seseorang yang memperhatikannya," kata Shuuji yang mengambil alih untuk menjelaskan. "Itu sebabnya dia ingin belajar bersama dengan semuanya. Ditambah kita bisa membantu satu sama lain tentang subjek yang kita kuasai. Kita tidak bisa pakai rumah Sudou atau rumahku untuk sementara, dan saat kita membicarakan tentang perpustakaan, Hiiragi mengusulkan untuk belajar di rumahnya."
"Aku mengerti, jadi begitu..."
Aku pikir memilih Hiiragi sebagai bantuan belajar merupakan pilihan yang bagus. Dilihat dari sikapnya di kelas dia pasti punya nilai yang bagus. Kupikir dia salah satu dari tipe "pergi ke universitas yang bagus" di SMA Miyamae.
Namun, itu sedikit mengejutkan.
Wajar saja Sudou terkejut, lagipula Hiiragi tampak seperti tipe orang yang tidak suka orang-orang datang ke rumahnya. Buktinya, tidak ada satu adegan pun di "Usia 14 Tahun" dimana ia mengajak seseorang berkunjung ke rumahnya.
Kurasa dia ingin lebih akrab dengan Sudou dan Shuuji secepat mungkin. Aku mengerti itu, tapi aku pikir terkadang ia terlalu memaksakan diri.
"Pokoknya, luangkan waktumu, Hosono!" kata Sudou, seolah itu merupakan hal yang sudah sepatutnya, sambil aku berpikir. "Lagian, aku yakin kau juga sedang dalam masalah! Ayo kita saling tolong menolong!"
Biasanya aku akan menolak, tapi hanya kali ini aku mengangguk tanpa mengucapkan apapun.
Aku tidak bisa meninggalkan Hiiragi sendirian bersama mereka, dan... Sebenarnya, aku juga ingin pergi ke rumahnya.
*
Seminggu kemudian.
"Oh, jadi ini..."
"Iya, rumahnya udah tua, jadi ini sedikit memalukan..."
Kita berempat sedang berdiri di depan sebuah rumah yang berada di tengah-tengah daerah perumahan.
"Mengagumkan..."
"Iyaa, rumahnya keren..."
Itu rumahnya Hiiragi, terletak di bagian yang menenangkan dari sebuah daerah perumahan, berjarak sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki dari stasiun.
Sebuah rumah tua dua tingkat bergaya Jepang.
Hiiragi bilang rumah ini di bangun selama generasi kakek moyangnya, jadi mungkin umurnya sudah lima sampai enam puluh tahun. Namun, karena bangunan ini sering dipelihara dengan baik, ketimbang "tua" rumah ini terasa "menawan". Desain jendela dan pintu masuknya sangat elok, tidak terlalu boros, faktanya malahan rumah ini terasa sangat nyaman dan cantik. Secara keseluruhan, rumah ini semacam gaya rumah yang dapat kau lihat di film anime.
Bagiku... Berdiri di depan rumah Tokiko, yang sering diceritakan di "Usia 14 Tahun", sangat membuatku kagum. Baik itu Tokiko yang memerhatikan labu ular Jepang di luar jendela, naik ke atap untuk melihat bintang, berbaring di futonnya saat sedang merasa sedih, atau menangis setelah bertengkar dengan kakaknya, semuanya terjadi di rumah ini. Selama lima belas tahun semenjak kelahirannya, rumah ini merupakan panggung dimana Tokiko tinggal.
"Si... Silahkan," ucap Hiiragi mengajak kita masuk, berjalan menuju pintu masuk yang tertutup jendela buram.
Setelah melihat rumah ini untuk yang terakhir kali, aku pun menyusul mereka.
Kamar Hiiragi merupakan ruangan bergaya Jepang yang terletak di lantai kedua, di ujung lorong di sisi selatan.
"Whoa, ini kayak... Kau tahu, kayak kamar seorang pakar sastra..."
Mendengar perkataan Sudou, aku mengangguk di dalam hati.
Tikar tatami yang dapat kau rasakan usianya, rak buku coklat zaitun dengan goresan kecil yang tak terhitung. Meja tulis, laci dan bahkan meja tehnya merupakan barang antik dengan tambahan ornamen kecil. Di dinding ada lukisan cat minyak berbingkai. Lukisannya terlihat seperti pemandangan di suatu pedesaan, tapi mungkin saja pemandangan itu dari kota ini puluhan tahun silam.
Dan semua barang antik ini sepertinya tidak dibawa langsung oleh Hiiragi.
"Semua barang disini asalnya dari nenekku..." kata Hiiragi yang entah mengapa tersipu. "Nenek membawa barang-barang ini sebagai mas kawinnya ketika nenek menikah, jadi aku pikir semua barang ini berumur sekitar enam puluh tahun..."
"Whoa, rumah Hiiragi benar-benar memberikan kesan seperti rumah bersejarah. Sangat elegan! Tokki, kau lebih suka furnitur seperti itu dibanding yang imut?"
"Iya... Kupikir begitu, menurutku, itu juga imut..."
Memang benar itu cocok dengan imej Hiiragi. Seorang gadis literatur tinggal di kamar bergaya Jepang masa-masa Showa. Di satu sisi, lebih sulit membayangkan dia di dalam kamar modern dengan furnitur-furnitur yang sederhana.
Hiiragi duduk di depan meja teh, kemudian kita melakukan hal yang sama dan bersiap-siap untuk belajar.
BTW, Hiiragi yang duduk di hadapanku hari ini mengenakan baju polos.
Itu wajar saja mengingat hari ini hari libur, tapi ini pertama kalinya aku melihat ia seperti itu jadi aku tidak sengaja menatapnya.
Dress putih yang terbuat dari kain tipis dengan jaket parka abu-abu terang. Dia tidak mengenakan aksesoris apapun selain hiasan rambut miliknya yang biasa dan arloji di tangan kirinya. Seperti yang dikatakan di "Usia 14 Tahun" dia tidak memiliki masalah penglihatan, jadi tidak seperti Sudou yang langsung memakai kacamatanya dia melihat buku tulisnya dengan mata telanjang.
Ini perasaan yang aneh.
Hiiragi sudah tinggal di kamar ini semenjak ia masih kecil. Dari sebelum digambarkan sebagai Tokiko hingga hari ini, dia pasti telah mengalami banyak hal disini, baik itu yang menyenangkan, menyedihkan, memuaskan, ataupun yang tak termaafkan. Sama seperti ia pernah merasakan amarah disini, dia juga pasti pernah melakukan hal yang sangat memalukan yang tidak boleh diketahui orang lain.
Saat aku memikirkan hal itu, untuk beberapa alasan aku jadi sangat sadar terhadap suatu hal yang dapat kau sebut "awak hidup"-nya Hiiragi.
Dia tidak berada di panggung seperti sekolah atau kota, tapi kembali ke kesehariannya di kamarnya sendiri. Kamar seorang gadis biasa, tempat ia tinggal dan tumbuh hingga ia menjadi seorang gadis SMA.
Mungkin dia menyadari tatapanku ketika Hiiragi melihatku kemudian memiringkan kepalanya ke sisi seolah-olah menanyakanku ada yang salah.
Kemudian, untuk pertama kalinya, aku menyadari sesuatu yang tidak begitu aku sadari sampai sekarang.
Kalau dia sangatlah cantik.
Tentu saja, aku sudah tahu kalau penampilan dia memang menarik. Meskipun dia tidak menonjol dan tidak mencolok, dilihat dari spesifikasi dasarnya aku pikir dia salah satu yang paling cantik di kelas. Namun, aku melihat Hiiragi terlalu spesifik, jadi aku bahkan tidak bisa memikirkan sesuatu yang sederhana dengan subyektif.
Dan sekarang, melihatnya di kamarnya sendiri, tak berdaya mengenakan kaos biasa, akhirnya aku merasakannya.
Hiiragi itu cantik. Sampai ke titik aku bisa terpikat melihatnya selama berjam-jam.
"... Hosono-kun?"
"Ah, ma-maaf!"
Akhirnya aku kembali ke kesadaranku ketika ia memanggilku. Hatiku bergaung seperti bel alarm.
"A-aku cuma lagi melamun..."
"Kalau kau bilang begitu..." jawab Hiiragi.
Sudou dan Shuuji pun, melihat kami dengan penasaran.
Begitu dimulai, Sudou langsung menyerang Hiiragi dengan rentetan pertanyaan.
"Tokki, bisa bantu aku kerjain ini?"
"Tentu."
"Bagian yang nanya 'semacam kesalahan setengah disengaja' itu... Kayak, banyak banget kata susah yang tidak aku mengerti."
"A-aah... Kau tidak perlu memahami maksudnya... Kau hanya perlu menghubungkan ini dan itu, lalu kau bisa memecahkan masalahnya..." kata Hiiragi membungkuk ke buku Sudou. "Lihat, 'semacam' mengacu pada kalimat sebelumnya, bukan? Lalu kalimat sebelumnya itu... ini dia, itu terhubung ke 'dengan kata lain' disini, jadi──"
Seperti kelihatannya, Hiiragi memang jago bahasa Jepang modern. Dia menjelaskan metode untuk menjawab pertanyaan Sudou dengan logis dan jelas. Aku pikir itu sangat mengesankan bisa memverbalisasikan hal yang kebanyakan orang lakukan secara intuitif. Dia mungkin akan sangat populer jika dia menjadi guru di suatu bimbel.
Namun,
"Aaaah, susaaahhh. Jadi maksudmu selama aku memerhatikan bagian-bagian ini aku tidak perlu membaca teksnya?"
"I-iya, tapi, eto, maaf karena tidak bisa menjelaskannya dengan baik..."
Hiiragi memasang ekspresi kaku biasanya.
Aku punya ekspektasi.
Kalau Hiiragi yang biasa gugup itu bisa santai di rumahnya sendiri dan bakal jadi kesempatan bagus baginya untuk lebih membuka hatinya.
Tapi itu seperti biasa. Hiiragi berbicara dengan Sudou dengan ekspresi kaku seperti biasa.
"... Apa yang harus aku lakukan..." keluhku.
Sepertinya malu-malu Hiiragi sudah mendarah daging dan sulit untuk diubah. Jika tidak ada kesempatan bagus, kemungkinan besar tidak akan tambah lebih baik.
*
"Aaaaaaah, capeeeekkk..."
Begitu kita memutuskan untuk beristirahat selama sepuluh menit Sudou langsung melemahkan tubuhnya ke atas meja dan membuat suara yang menyedihkan.
"Aku sudah belajar yang setimpal dengan satu bulan belajar, mungkin aku bakal dapet nilai sempurna..."
"Kau tidak akan dapat nilai sempurna hanya dengan belajar selama satu jam," ucap Shuuji tersenyum pahit.
"Dan kita hanya mempelajari satu subjek," tambah Hiiragi, butek melihat Sudou.
Aku yakin Hiiragi tidak bisa memahami perasaan Sudou. Lagipula dia punya konsentrasi yang tinggi. Di "Usia 14 Tahun" juga digambarkan bahwa dia bisa belajar selama berjam-jam.
Sebuah kemiripan umum.
Tiba-tiba, aku mengingat kata itu.
Hiiragi dan Sudou tidak memiliki kemiripan umum apapun.
Tidak peduli bagaimana kau meihatnya, mereka sangat berbeda. Misalnya tentang furnitur yang sebelumnya. Sudou, atau rata-rata gadis SMA manapun, pasti lebih menyukai furnitur yang keperempuanan.
Tapi tidak dengan Hiiragi.
Dia pikir furnitur di kamarnya imut, membaca sastra Jepang, bisa menganalisa dan memahami teks serta konsentrasi penuh saat belajar selama berjam-jam.
Mereka tidak punya satu kemiripan pun. Selera mereka tidak kompatibel.
Jadi pada akhirnya, mungkin mustahil bagi mereka untuk bisa lebih akrab.
... Tapi apa itu sungguh masalahnya?
Pertanyaan itu tetap berada di dalam pikiranku.
Apa sungguh tidak mungkin bagi mereka berdua untuk memahami satu sama lain?
Memang benar, mereka tipe orang yang berbeda. Karena mereka tinggal di kota yang sama dan pergi ke sekolah yang sama mereka pun bisa bertemu, tapi selain itu seperti kepribadian, hobi, cara menjalani hidup dan cara berpikir mereka terlalu berbeda.
Namun, pasti ada sesuatu yang mirip di antara mereka. Sesuatu yang dapat mendekatkan mereka.
Kemudian, aku sadar.
Jika memang benar ada sesuatu, maka akulah yang seharusnya mampu menemukannya.
Aku berhenti bergaul dengan orang-orang. Aku tidak berusaha untuk lebih dekat, ataupun memahamni perasaan mereka, atau bahkan membaca situasi.
Biarpun begitu, aku membaca "Usia 14 Tahun" berulang kali selama setahun, dan aku sudah dekat dengan Sudou dan Shuuji sejak masih kecil. Jika ada seseorang yang bisa menemukan kemiripan umum mereka, akulah orangnya.
... Oh yahh, kupikir aku harus. Mari pikirkan itu sedikit lebih dalam.
Kesampingkan Sudou dan Shuuji, setidaknya aku ingin mengabulkan keinginan Hiiragi kalau bisa.
Aku melipat tanganku dan mulai mengingat-ngingat segala hal tentang mereka. Apa yang mereka sukai, yang mereka benci, kelebihan mereka, kekurangan mereka, yang mereka yakini, yang tidak mereka yakini, cara mereka hidup...
Tiba-tiba, hp seseorang mulai bergetar.
"... Ah, ini dari kakakku," gumam Sudou memastikan apa yang ada di layar. "Uh-huh... Pilih apa... Mungkin ayam goreng..."
Sudou dengan cepat menulis jawaban.
Dan ketika aku melihat itu, semuanya menjadi satu.
Ada satu, jawaban untuk masalah ini.
Kemiripan umum antar mereka.
"Pesan dari kakakmu?" aku bertanya pada Sudou ketika ia selesai menulis jawabannya.
"Ah, yup. Nanya aku ingin makan apa untuk makan malam."
"Begitu. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarnya akhir-akhir ini?"
"... Ada apa tiba-tiba? Yahh, begitulah, dia baik," jawab Sudou sedikit bingung.
"Senang mendengarnya, aku cuman berpikir belakangan ini kau tidak begitu membicarakannya. Masih menjadi model?"
"Yup. Akhir-akhir ini dia sungguh luar biasa. Dia banyak melakukan pemrotetan, dan bahkan muncul di iklan di TV."
"Begitu. ... Dipikir-pikir, Hiiragi tidak tahu," kataku melihat Hiiragi yang terlihat tertarik. "Kakaknya Hiiragi itu selebriti. Saat masih sekolah dulu dia jadi model di majalah, dan dia masih sering muncul."
"W-wow, model..." meski bingung, Hiiragi menunjukkan kekagumannya dengan tulus. "Hebat... orang seperti itu memang ada ya..."
"Yeah, dia tinggi, stylish dan cantik, tepat seperti yang kau bayangkan ketika memikirkan seorang model. Dia bahkan punya fanclub di SMP──"
"Berhenti membicarakannya!"
Sudou menatapku tidak senang. Ketimbang marah, dia terlihat galau.
"Aku punya masalah tentang itu. Meskipun kakakku sangat cantik, aku kaya gini..."
"I-itu tidak benar... Sudou-san, kau sangat imut aku iri..."
"Cuma kau yang bilang begitu, Tokki..."
"... Tapi memang benar sulit memiliki seseorang yang kompeten di keluargamu," kata Shuuji, yang memerhatikan perkembangan percakapan ini dengan tenang, tersenyum masam.
"Ah, yeah, kalau kau itu ayahmu yang hebat, bukan?"
Shuuji yang sedikit gelisah mengangguk terhadap pertanyaanku.
"Ayahku adalah kepala perusahaan..."
"Kepala... Jadi ayahmu presidennya?"
"Iya. Bukan perusahaan besar tapi, hanya perusahaan IT biasa. Ayah punya ambisi besar sejak masih kecil, jadi ayah banyak belajar untuk memulai bisnis. Jadi dari sudut pandang ayahku, itu terlihat seperti aku tidak punya ambisi... Ayahku agak ketat karena hal itu."
Aku bertemu, atau tepatnya melihat, ayahnya Shuuji beberapa kali.
Ayahnya selalu sibuk bekerja di depan komputer sambil mengenakan kemeja.
Shuuji selalu memberitahu kalau dia ingin jadi sepertinya, tapi di pikirannya dia tahu dia tidak bisa menjadi "seperti itu". Itu sebabnya, alih-alih pergi ke sekolah terbaik Shuuji memutuskan untuk pergi ke SMA Miyamae, karena dia ingin mencoba ke jalan yang berbeda ketimbang menjadi elit.
"Begitu, kalian juga sama sulitnya ya..." gumam Hiiragi, memikirkan sesuatu.
"...Hiiragi," aku mulai bicara untuk memberinya sedikit dorongan. "Bagaimana denganmu? Ada sesuatu tentang keluargamu?"
"Sesuatu tentang keluargaku..."
Ketika dia memikirkannya, dia tiba-tiba membuat ekspresi seolah ia menemukan sesuatu.
Kemudian, berbalik ke arah Sudou dan Shuuji,
"Umm... Kakakku luar biasa," ucapnya. "Dia sepuluh tahun lebih tua dan sudah dewasa... Dan juga, dia seorang penulis."
"Eh!? Hebat!"
"Sungguh!?"
Tampaknya itu berhasil membuat mereka tertarik saat Sudou dan Shuuji membungkuk ke depan.
"Ya itu benar. Terlebih, akhir-akhir ini sepertinya karyanya makin dipuji-puji... Bahkan hari ini pun, dia pergi ke acara reuni dengan editornya..."
"Haaa, ya, kurasa itu bisa terjadi..." Shuuji mengangguk, terkesan. "Dan disinilah aku berpikir bahwa sukses sebagai penulis itu cukup sulit."
"Tapi kau tahu, karena aku juga punya kakak seperti itu, aku sering punya kompleks seperti itu juga."
Bahkan di "Usia 14 Tahun" Tokiko selalu mengakui kakaknya.
Sang kakak perempuan yang punya banyak hal yang tidak ia miliki. Dia mengagumkan, punya bakat dan pandai bergaul. Sebagai pembaca, aku merasa seperti Tokiko menjadi introvert karena disebabkan oleh kakaknya yang luar biasa itu.
Dan Sudou, serta Shuuji memiliki kompleks dengan keluarga mereka yang luar biasa.
Ini pasti salah satu dari beberapa kemiripan umum mereka. Ini sedikit kejam, tapi kita harus memakainya.
"Jadi kurasa kita adalah 'Perserikatan Orang Picisan di Dalam Keluarganya Masing-Masing'..." kata Sudou membuat ekspresi seperti mencemooh. Namun, anehnya dia terlihat senang.
"Yeah."
"Sepertinya begitu," setuju Hiiragi sambil tersenyum.
Ya, dia tersenyum. Hiiragi tersenyum pada Sudou dan Shuuji.
Ekspresinya lebih lembut dan lebih alami dibandingkan dengan ekspresi kaku yang ia buat sampai sekarang.
Pokoknya, ini berjalan dengan baik, aku pun lega.
Tentu saja, ini tidak sempurna. Hiiragi masih gugup di sekitar mereka. Namun, hanya dengan ini saja dia sudah selangkah lebih dekat. Sekarang dia hanya perlu untuk lebih akrab lagi sedikit demi sedikit.
Lagipula, Tokiko, yaitu Hiiragi, mengatakannya sendiri: "Jika hanya ada satu hal yang selaras denganku dari lubuk hati yang paling dalam, niscaya, aku tidak akan takut apapun."
Merasa puas, aku mengeluarkan sebotol teh dari tas dan meneguknya.
Di samping, Hiiragi dan kedua orang itu terus membicarakan keluarga mereka.
Aroma teh menyebar di mulutku, kemudian menjalar melalui tenggorokan sebelum berakhir di perutku. Karena aku merasa puas rasanya jadi manis.
Tapi, aku merasakan nyeri di sekitar perutku.
Sensasi aneh yang menyesakkan dan menjengkelkan.
Apa ini? Apa aku makan sesuatu yang buruk? Pikirku, mengelus-ngelus perutku, tapi... aku salah, sakitnya bukan disitu.
Sakitnya di atas. Rasa sakitnya di sekitar dadaku.
Kenapa? Tubuhku sehat-sehat saja selama 15 tahun terakhir. Aku tidak punya penyakit apa pun. Lantas mengapa? Mengapa dadaku sakit? Apa stresku menumpuk hanya dengan bersama Sudou dan Shuuji?
“Dipikir-pikir, Hosono santai santai aja!" Sudou tiba-tiba mengalihkan pembicaraan padaku. "Dia tidak punya saudara kandung dan punya anak kucing yang sangat lucu. Itu curang!"
"Oh, kau punya anak kucing..." Hiiragi membungkuk ke depan, tertarik. "Aku ingin melihatnya... Siapa namanya?"
"Shishamo."
"Shishamo..." ucap Hiiragi. Lalu setelah menggumamkannya berulang kali, "Itu nama yang bagus."
"Benarkah? Nama itu dari ayahku, dan aku tidak terlalu menyukainya... Juga, itu bukan anak kucing lagi. Kau terakhir melihatnya tiga tahun lalu, tapi sekarang kucing itu sudah dewasa."
"Apa, serius!?"
"Meskipun kucing itu saking kecilnya sampai bisa muat di tanganku!"
Sudou dan Shuuji benar-benar terkejut. Memang benar kalau ketika masih anak kucing, mereka sangat suka bermain dengan kucing. Tapi aku berhenti mengundang mereka supaya mereka tidak bertemu dengan kucingku, jadi kurasa di dalam pikiran mereka kucingku masih anak kucing yang lucu.
"Dulu Shishamo sangat membenci Hosono! Dia akan mendekus padanya hanya karena dia mendekatinya!"
"Aah, ya itu terjadi."
Sudou dan Shuuji tersenyum mengingat masa lalu.
“Kucingmu lebih ramah dengan kita! Dia naik ke pangkuan kita dan mendengkur."
"Itu imut. Kita juga bermain dengan mainan. Meskipun Hosono terlihat sedikit menyedihkan karena diabaikan."
“Hei, kita sudah lama berdamai. Sekarang kucingku bahkan pakai kasurku untuk tidur."
“Serius!? Kurasa bahkan kucing pun bisa berubah pikiran!" seru Sudou. "Enaknya, bisa tidur sama Shishamo..."
"Kadang-kadang kucingku jadi sedikit liar di malam hari jadinya aku tidak bisa tidur karena itu... Umm? Ada apa, Hiiragi?"
Aku perhatikan Hiiragi menunduk kesepian.
"Tidak, tidak apa-apa... Hanya saja..."
"... Hanya saja?"
"Kalian bertiga sudah berteman sejak dulu..."
"Yahh, iya, di masa lalu."
Saat aku mengatakan itu, Sudou meninggikan suaranya tidak puas.
“Jangan hanya di masa lalu! Di masa sekarang, dan di masa depan juga kita akan selalu menjadi teman masa kecil!"
"Ahaha..." Hiiragi tertawa dengan ekspresi agak kesepian. Lalu dia bergumam pada dirinya sendiri, "Enaknya, aku iri..."
*
"Terima kasih untuk hari ini!" Kata Sudou di pintu masuk, tersenyum pada Hiiragi. “Ajaran Tokki sangat membantu! Dapat nilai sempurna bukan lagi sebuah impian!"
"Ahaha, nilai sempurna masih agak terlalu sulit."
"Ayo lakukan lagi. Selanjutnya kau bisa datang ke rumahku," kata Shuuji dengan senyuman bak aktor.
"Ya, itu akan menyenangkan. Ayo kita lakukan lagi sebelum ujian akhir," jawab Hiiragi membalas senyum padanya.
Pada akhirnya kami belajar sampai sebelum waktu makan malam dengan beberapa istirahat.
Berkat itu pula Sudou berhasil mempelajari bahasa Jepang modern secara singkat, serta matematika dan bahasa Inggris yang mana merupakan kelemahannya. Kita juga meninjau satu sama lain tentang hal-hal yang tidak kami mengerti.
Aku pikir hal ini cukup efektif dilakukan sebelum ujian.
Hiiragi membuat kemajuan yang cukup besar, dan aku merasa seperti punya hari yang bermakna untuk pertama kalinya dalam beberapa saat. Setidaknya untuk hari ini aku harus berterima kasih pada Sudou dan Shuuji.
Mungkin aku harus mengatakan sesuatu pada mereka sebagai ucapan terima kasih, pikirku sambil mengenakan sepatu.
Sudou dan Shuuji menungguku, bermandikan cahaya mentari sore yang muncul dari jendela di sisi pintu masuk. Entah bagaimana itu membuatku mengingat saat-saat kita pulang bersama di SD.
Lalu tiba-tiba, ponselku bergetar di saku. Aku mengeluarkannya dan melihat ke layar:
Tokki: Kau mau bertemu dengan kakakku?
Aku mengangkat wajahku dalam sekejap.
Hiiragi sedang menulis sesuatu di ponselnya.
Kemudian pesan lain muncul:
Tokki: Aku bilang padanya kalau seorang teman yang menyukai "Usia 14 Tahun" ada di rumah, lalu dia bilang dia sangat ingin bertemu denganmu
Hatiku berdetak kencang terhadap perkembangan yang tak terduga ini.
Kau mau bertemu dengan kakakku?
Dengan kata lain, bertemu dengan penulis "Usia 14 Tahun", Hiiragi Tokoro.
"Aaah, ma-maaf!" Aku secara refleks meninggikan suaraku. "Yahh... aku lupa kalau Hiiragi seharusnya meminjamiku buku setelah itu!"
"Eh, sungguh?"
"Ya, jadi kalian bisa duluan karena ini bakalan lama."
"Oke~" Sudou setuju dengan mudah, lalu menyeringai padaku. “Tapi, bisa-bisanya kau masih membaca, kau sangat tenang yaa~. Awas nanti di remed lho."
"Jangan terlalu percaya diri."
Mengatakan bagian mereka, Sudou dan Shuuji pergi melambaikan tangan sambil mengatakan "Dah".
Sekarang hanya kami berdua yang tersisa.
"...K-kau yakin tentang ini?" Tanyaku gugup. "Kakakmu... Hiiragi Tokoro-san, dia lagi kerja, kan? Tapi dia meluangkan waktunya untukku... Entah kenapa... Rasanya luar biasa."
Aku membaca ratusan buku. Aku selalu dekat dengan buku sejak masih kecil, dan tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa aku yang sekarang ini dibentuk oleh buku-buku.
Dan sekarang, kau bilang aku bisa menemui seorang penulis, apalagi penulis dari buku yang sangat aku sukai? Aku tidak pernah bisa memimpikan hal itu.
"Tidak usah terlalu memikirkannya. Dia sendiri yang ingin bertemu denganmu, dan rapatnya seharusnya sebentar lagi selesai," kata Hiiragi dengan santai.
Melihat sikapnya, aku akhirnya benar-benar merasa kalau dia memang adiknya Hiiragi Tokoro.
"Baiklah..." Aku mengangguk dan menghirup nafas untuk menenangkan diri. Beberapa detik kemudian, sesantai mungkin aku berkata, "Yahh, kurasa aku akan menerima tawaran itu..."
Kau mungkin bertanya-tanya di mana orang yang mencoba menghindari orang lain, kalau aku hanya seorang fanboy yang menganggap selebriti secara berbeda. Tapi aku benar-benar ingin tahu siapa orang yang bisa menulis novel yang bisa membuatku sangat terpikat.
"Iya tidak masalah."
Saat Hiiragi mengangguk, pintu di ujung lorong di sisi lain ruang tamu terbuka. Seorang pria dengan wajah santun muncul dari situ. Lalu dia melihat Hiiragi di pintu masuk.
“Oh, Tokiko-chan, halo. Kau di sini."
Kupikir usianya pasti di akhir dua puluhan. Dia memegang tas di tangan kirinya, dan ponsel di tangan kanannya. Dia mungkin editor yang bertanggung jawab atas Hiiragi Tokoro.
"Ya, aku sedang menunggu rapat berakhir."
"Begitu, maaf memakan waktu lama... Anak muda ini temanmu?"
"...Ya, dia teman sekelasku."
"Senang bertemu denganmu. aku Nomura, dari departemen editorial pertama Edisi Machida," kata pria itu sambil tersenyum. "Tapi, bagi Tokiko-chan punya seorang teman, itu sangat mengharukan. Aku harap kau akrab dengannya."
"Aah, ya..."
"Baiklah kalau begitu, aku akan pergi."
Hanya mengucapkan itu, Nomura-san membuka pintu keluar dan pergi dari kediaman Hiiragi.
"Baiklah, ayo pergi," kata Hiiragi setelah mengunci pintu. "Aku yakin kakakku sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu."
*
Itu adalah sebuah atelir.
Ya, jika aku harus memberi kesan pertamaku, itu seperti atelir penyihir.
Aku tercengang oleh pemandangan di depan mataku ketika aku memasuki atelir Hiiragi Tokoro.
Ada rak buku yang berdiri di setiap dinding, penuh dengan literatur Jepang, sastra Barat, majalah, buku petunjuk, novel, manga shoujo, manga shounen, manga seinen dan bahkan manga dewasa.
Tapi tidak hanya ada rak buku. Ada banyak menara di lantai yang terbuat dari buku-buku yang tak terhitung jumlahnya, dan aku bisa melihat tokoh perempuannya di sampul light novel di atas salah satu menara itu. Rupanya Hiiragi Tokoro adalah seorang pembaca yang ekstrim, membaca banyak genre tanpa pandang bulu.
Dan di belakang ruangan ada meja kneehole antik dengan komputer terbaru di atasnya. (note: meja kneehole)
Dan kursi kantor mewah di depannya berbalik ke arah kami.
"Hei, jadi itu kamu," kata wanita yang sedang duduk itu, tersenyum padaku secara teatrikal. “Hosono-kun, ya? Maaf sudah memanggilmu, tapi aku ingin bertemu denganmu setidaknya sekali.”
Aku langsung mengerti kalau itu adalah kakaknya Hiiragi dalam sekejap.
Dia bilang dia sepuluh tahun lebih tua, jadi usianya dua puluh lima atau dua puluh enam. Dia memiliki mata hitam seperti kucing, hidung kecil mancung, dan bibir berwarna persik, yang tidak jauh berbeda dari Hiiragi. Kalian hampir bisa menyebut mereka mirip.
Tapi dia memiliki rambut panjang yang bergelombang. Dia mengenakan gaun hitam pada postur tubuh wanitanya yang tinggi.
Dan yang paling penting, dia memiliki daya tarik yang akan membuatmu merasa bingung bahkan dari kejauhan, yang sama sekali berbeda dengan kepolosan Hiiragi.
Aku yakin desain Femme Fatale itu wanita seperti dia. Ini tidak seperti dia mengumbar-ngumbar kulit, atau memakai banyak riasan, tetapi wanita di depan mataku ini, Hiiragi Tokoro memiliki daya tarik yang sedemikian rupa sehingga kau akan mundur secara naluriah ketika melihatnya. Aku membayangkan penulis sebagai orang yang sensitif dan lembut. Terlebih bagi penulis "Usia 14 Tahun", kupikir dia adalah wanita yang lembut, murni, dan polos. Tidak mengira ternyata dia seperti itu... (note: Femme Fatale)
"Aku dengar dari Tokiko," aku kembali ke kesadaranku setelah mendengar suaranya yang jelas. “Kalau kamu sangat suka 'Usia 14 Tahun'. Ini merupakan kehormatan bagiku bisa membuat pria muda sepertimu membaca karyaku. Kau bahkan bisa bilang kalau aku sudah mendapatkan lebih dari apa yang seharusnya layak bagiku sebagai seorang penulis. Terima kasih."
"T-tidak, bukan apa-apa! M-malahan, akulah yang harus berterima kasih padamu karena telah menulis novel yang menakjubkan seperti itu... Aku benar-benar senang bisa membacanya," jawabku dengan gugup, berusaha yang terbaik untuk bisa lanjut berbicara. “Aku sangat suka 'Usia 14 Tahun', sampai-sampai, tanpa membesar-besarkan, aku membacanya setiap hari. Aku sungguh bisa berempati dengan perasaan Tokiko... Serius, ini pertama kalinya sebuah novel bisa membuatku berpikir seperti itu."
Hiiragi Tokoro terkekeh dan berkata sambil tersenyum, “Kau mengatakan hal-hal yang sangat menyenangkan hati. Mungkin ini pertama kalinya aku dipuji secara langsung."
Melihat wajahnya yang tersenyum, aku bisa merasakan tubuhku terombang-ambing oleh pusaran perasaan.
Pertama, kegugupan dan kegirangan.
Penulis novel favoritku ada di hadapanku. Dia mengenalku, dan senang mendengar perkataanku. Fakta ini membuat perutku seperti punya kupu-kupu terbang dan mataku terasa panas. (note: kupu-kupu di dalam perut itu ungkapan yang artinya perasaan gugup saat akan melakukan sesuatu yang penting)
Tetapi disaat yang sama, aku merasa sangat takut dan waspada.
Wanita ini menulis "Usia 14 Tahun".
Dia dengan cermat menganalisis Hiiragi Tokiko, seorang gadis sekolah menengah, dan membuat cerita tentangnya. Itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh orang biasa. Dia benar-benar penyihir, dan menggunakan sesuatu, seperti sihir, dia menulis Hiiragi ke dalam sebuah buku.
Dan mata penyihir itu menatapku.
Mata hitamnya yang tampak seperti bisa melihat segalanya menusukku.
Aku ingin tahu seberapa jauh dia bisa melihat? Jika dia bisa melihat segalanya seperti saat bersama Tokiko, maka aku ingin tahu bagaimana dia melihatku?
Tentu saja, sebenarnya, bukan berarti dia tahu segalanya tentang Hiiragi. Ketika dia menulis "Usia 14 Tahun", dia mengumpulkan data tentang Hiiragi dengan benar. Setiap malam dia akan bertanya bagaimana adiknya menjalani kesehariannya dan menulis banyak catatan. Rupanya pada awalnya Hiiragi menentang hal tersebut, tetapi setelah terus-terusan dibujuk, dia memutuskan untuk membantu.
Itu sebabnya, Hiiragi Tokoro tidak benar-benar melihat segalanya tentangku.
Secara teori, aku mengerti itu.
Tapi secara emosional, aku merasakan kegelisahan yang kuat, seluruh tubuhku merinding, menandakan aku harus waspada akan bahaya.
"Tidak usah gugup," ucap Hiiragi Tokoro sambil tersenyum. "Aku tidak akan menggigitmu, ataupun menilaimu. Santai saja."
"Y-ya..."
Tapi, bukannya dia mengerti alasan kegelisahanku...?
Aku tidak tahu sampai mana aku bisa tetap santai saat aku ada di hadapannya.
“Kalau begitu Hosono-kun, bagaimana? Bagaimana Tokiko di sekolah?"
"...Yahh," dengan hati-hati memilih kata, aku mulai menjawab. "Awalnya, seperti yang kau duga, dia lumayan mengasingkan diri, tapi baru-baru ini dia dapat teman dan mereka sepertinya akrab..."
Yahh, ketimbang baru-baru ini, lebih seperti hari ini.
Ketika aku mengingatnya, sekali lagi aku merasakan sakit di dadaku.
Secara refleks aku memegang dadaku.
"Hmm..." Hiiragi Tokoro mulai menatap wajahku. "... Luar biasa, kau membuat ekspresi yang sangat bagus. Ini benar-benar membuatku senang."
"B-benarkah?..."
Aku tidak mengerti apa yang dia maksud.
Ekspresi yang bagus? Aku? Saat ini aku membuat ekspresi yang bagus? Mustahil.
Kecuali dia bermaksud kalau ekspresiku yang menderita berkat rasa sakit di dadaku ini terlihat bagus. Dia hanya mengejekku.
"Ngomong-ngomong, mungkin kau pernah mendengarnya dari Tokiko, tapi aku sedang menulis sekuel dari 'Usia 14 Tahun'. Tentu saja, ini masih tentang Tokiko."
"Ya, dia memberitahuku..."
"Adapun tentang periode tersebut, aku berpikir untuk mulai dari awal masuknya ke SMA. Jadi yang ingin aku katakan adalah di sekuelnya nanti,” Hiiragi Tokoro membuat senyuman menyihir. "Kau akan muncul bagaimanapun juga."
Aku tidak mengucapkan apapun.
Aku akan muncul dalam sekuel "Usia 14 Tahun".
Aku akan menjadi karakter di dalamnya.
Aku hampir saja mengeluarkan suara penuh sukacita secara refleks.
Aku bertemu dengan tokoh utama novel favoritku, kemudian bertemu penulisnya, dan akhirnya sekarang aku muncul di sekuelnya. Sebagai penggemarnya, bisakah aku lebih bahagia?
Hiiragi Tokoro akan menulis tentangku. Diriku akan digambarkan ke dalam buku oleh gaya sastranya.
Aku merinding hanya dengan memikirkannya saja.
Bagaimana nanti jadinya? Bagaimana dia akan menggambarkanku?
... Memikirkannya, kebahagiaanku berubah menjadi gelisah.
Iya... Itu masalahnya. Bagaimana Hiiragi Tokoro akan menggambarkanku?
Tidak seperti Hiiragi, aku tidak memiliki daya tarik apapun. Aku tidak polos seperti dia, hanya bocah SMA yang tidak bisa berdaptasi dengan lingkungannya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana orang sepertiku bisa muncul dalam sebuah cerita.
Yang paling utama, apakah tidak masalah bagiku muncul di dalam ceritanya? Apakah aku layak?
Paling tidak, aku pikir aku tidak layak.
Jika aku muncul, apakah kisah Tokiko tidak akan kehilangan sedikit daya tariknya?...
"Seperti yang ku katakan, kau tidak usah gugup," kata Hiiragi Tokoro, tertawa kecil. "Aku tidak akan menulis buruk tentangmu. Lagipula, kami tidak bisa menerbitkan buku tanpa izinmu. Hanya setelah membiarkanmu membaca naskahnya dan menyetujuinya kami dapat melanjutkan ke tahap publikasi. Jangan sungkan-sungkan, kalau kau menentangnya, katakan saja. Ini penilaian pribadiku sebagai penulis untuk menggunakanmu dalam ceritaku, jadi tentu saja aku akan bertanggung jawab. Meski begitu, aku harus mengatakan ini,” dia menyilangkan kakinya dan menatap wajahku. "Kau benar-benar membuatku senang. Kau imut, Hosono-kun. Tidak seimut Tokiko, tapi masih hampir sama seperti dia. Itu sebabnya, aku sangat ingin kau sedikit muncul dalam cerita."
"Onee-chan," Hiiragi, yang diam sampai sekarang, mengeluarkan suaranya. Aku merasakan sedikit kekesalan dalam suaranya ketika ia berbicara, "Berhenti katakan itu dengan santainya... Kayak imut dan semacamnya..."
Baru saja terjadi sesuatu yang sangat jarang, Hiiragi marah.
Jadi dia bahkan bisa membuat ekspresi seperti itu... Meskipun dia jarang tersenyum dan biasanya hanya memasang wajah tanpa ekspresi atau ekspresi penuh kesukaran.
"Kau benar, maaf," kata Hiiragi Tokoro, melambaikan tangannya seolah itu untuk menyapu apa yang baru saja ia katakan. "Ngomong-ngomong, Hosono-kun, kau tidak keberatan jika aku menulis tentangmu? Seperti yang ku katakan, aku akan meminta izinmu sebelum langkah terakhir."
"Umm, yahh... aku tidak keberatan."
"Terima kasih. Kalau begitu, saatnya bagiku untuk mulai bekerja. Namun aku harus bilang, aku merasa bahwa kita akan memiliki pembicaraan lain tentang Tokiko di suatu tempat."
"Err, kalau kau bilang begitu..."
"Tentu saja," Hiiragi Tokoro mengangguk dan tersenyum dengan percaya diri. "Aku menantikan hal itu dengan senang hati."
*
"Maaf, kakakku sedikit eksentrik ..." ucap Hiiragi dengan sedih sambil berjalan menuju stasiun bersamaku. "Ketika seseorang membuatnya senang, anehnya dia jadi sangat bersemangat... Meskipun dia biasanya lebih pendiam..."
"Err, yahh, tidak apa-apa..." jawabku setengah-setengah, masih terkejut dengan apa yang terjadi. "Itu menyenangkan..."
Dia benar-benar seseorang yang intens.
Itu pertama kalinya aku merasa seperti berada di dalam genggaman tangan seseorang. Ternyata orang dibalik cerita polos seperti "Usia 14 Tahun" adalah orang seperti itu... kupikir aku agak bersemangat untuk bertemu dengannya, tetapi dia memberikan kesan yang sangat kuat.
Terlebih, sepertinya aku benar-benar membuatnya senang. Jadi dia tidak cuma mengusiliku saat bersikap seperti itu.
Aku tidak mengerti kenapa aku tidak keberatan, dan jika ditanya apakah aku senang, aku tidak bisa sepenuhnya setuju. Tetap saja, itu lebih baik daripada dibenci. Sangat menjengkelkan jika menjadikan orang seperti itu musuh.
"Dan juga... terima kasih untuk hari ini," kata Hiiragi di sebelahku, mengangkat kepalanya. “Aku akhirnya merasa bisa berteman dengan Sudou-san dan Shuuji-kun. Saat itu, ketika kau membicarakan keluarga... itu untuk membantuku, bukan?”
"... Yahh, aku tidak melakukan banyak."
“Tetap saja, aku sangat senang. Terima kasih,” kata Hiiragi, menyuarakan rasa terima kasih yang tulus.
Tetapi Hiiragi tidak tahu niatku yang sebenarnya.
Kalau aku hanya ingin berada di sisinya.
Bukannya aku tidak ingin membantunya dan membuatnya bahagia. Namun, lebih dari itu, aku ingin dia tahu kalau aku pantas berada di sisinya. Itu sebabnya, aku melakukannya bukan karena niat baik, tapi lebih seperti tindakan egois untuk kepentinganku sendiri.
Menghela nafas kecil, aku melihat ke langit. Saat ini matahari yang tenggelam sedang mengintip melalui celah di antara gedung-gedung.
Langit oranye di barat, langit nila biru di timur dan awan putih menyatu membentuk pola marmer yang rumit di langit. Sebuah tontonan yang pantas untuk bagian yang akan datang setelah epilog "Usia 14 Tahun", sampai-sampai aku tidak masalah walaupun dunia akan dihancurkan sekarang.
Lalu, tiba-tiba aku sadar.
Mungkin aku merasa seperti itu karena Hiiragi ada di sebelahku.
Hiiragi memegang roknya karena hembusan angin bulan Mei. Untuk beberapa alasan, ketika aku bersamanya, amplitudo emosiku menjadi semakin besar dan besar.
"... Umm, boleh aku tanya sesuatu?" Hiiragi bertanya padaku, segan.
"Apa?"
“Hosono-kun, kau dulu dekat dengan Sudou-san dan Shuuji-kun, kan? Kau bermain dan pulang bersama, bukan?”
Detakan jantungku sedikit meningkat karena pertanyaan yang tiba-tiba itu.
"...Yahh, iya, dulu kita seperti itu," jawabku, berusaha untuk setenang mungkin. "Ketika kau masih kecil, kau tidak terlalu peduli orang lain itu seperti apa, bukan? Tapi ketika kau sudah SMA kau mulai berpikir begitu, itu sebabnya aku pikir hubungan kita saat ini baik-baik saja."
"Be-Begitu..." Hiiragi hanya mengatakan itu lalu berhenti berbicara.
Tetapi setelah berjalan beberapa langkah:
"Kupikir mungkin ada sesuatu terjadi..." ucapnya malu-malu, menundukkan kepala seperti anak kecil yang sedang dimarahi. "Gimana bilangnya... itu tidak terlihat seperti kau menjauh dengan alami. Itu lebih terlihat seperti kaulah yang jelas memantapkan pendirianmu, lalu mereka memutuskan untuk bertindak sesuai dengan hal itu..."
Komentar tajamnya mengejutkanku.
Tapi kalau dipikir-pikir, seharusnya tidak sulit bagi Tokiko untuk mengetahui hal ini mengingat kepekaan yang dia tunjukkan di "Usia 14 Tahun".
Lalu Hiiragi mengangkat wajahnya dan memberitahuku, yang tidak bisa menemukan alasan apapun:
"Itu sebabnya kupikir... mungkin sesuatu telah terjadi yang membuat hal-hal menjadi seperti saat ini..."
Sesuatu telah terjadi.
Mendengar kata-kata ini, ingatan tidak menyenangkan muncul di benakku.
Aku berusaha untuk menyegel ingatan itu sebanyak mungkin sehingga aku tidak bisa lagi mengingat penyesalan yang pahit.
Melihat perubahan ekspresiku, Hiiragi menjadi bingung.
“U-umm, tidak apa-apa jika kau tidak ingin mengatakannya! Aku minta maaf karena tidak sensitif... Hanya saja, aku penasaran... aku, err..." Hiiragi merendahkan suaranya ke tingkat yang hampir tidak terdengar, "Aku ingin... tahu lebih banyak tentangmu... Hosono-kun."
Melihatnya sedang dalam keadaan sulit, akhirnya aku sadar. Kalau aku tidak pernah membicarakan tentangku pada Hiiragi.
Berkat "Usia 14 Tahun", aku tahu sebagian besar kehidupan Hiiragi. Aku bahkan tahu apa yang biasanya ia pikirkan. Tidak hanya itu, aku tahu masalahnya, kekhawatirannya, novel, lagu, lukisan, film yang disukainya, dan bahkan pola pakaian dalamnya. Sebaliknya, satu-satunya hal yang Hiiragi ketahui tentangku adalah bahwa aku suka "Usia 14 Tahun".
Aku ingin memberitahunya.
Aku tidak tahu apakah aku memiliki hak untuk berbicara dengannya tentang hal itu.
Lagipula, haruskah seseorang yang menyerah pada hubungan manusia benar-benar ingin membicarakannya?
Tetapi aku ingin hubungan kita adil, dan aku merasa di suatu tempat di hatiku, aku ingin dia mendengarkanku. Jika sekarang saatnya, aku merasa aku bisa berbicara.
"... Mereka berdua selalu populer," aku membuka mulut, mengingat masa lalu. "Punya banyak teman, populer dengan lawan jenis, dipercaya oleh para guru... Yahh, tidak terlalu berbeda dari sekarang. Ngomong-ngomong, masalahnya adalah karena kita selalu bersama, aku salah mengerti sesuatu. Aku pikir aku populer seperti mereka. Bahwa aku memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang lain,” kataku, menertawakan diriku sendiri.
Aku? Seperti mereka? Baik itu dalam hal perhatian pada orang lain, kemampuan berkomunikasi, popularitas, penampilan, semua hal yang diperlukan untuk interaksi sosial, tidak ada satupun yang selevel dengan mereka.
Hiiragi membuka mulutnya mencoba mengatakan sesuatu. Tapi mungkin dia pikir lebih baik untuk mendengarkanku dulu, kemudian menutup mulut dan menatapku.
“Namun, bahkan orang sepertiku sadar ada sesuatu yang aneh di akhir sekolah dasar. Meskipun semuanya berjalan lancar ketika mereka berbicara, ketika aku melakukannya itu sebaliknya. Dipikir-pikir, itu pasti karena aku hanya mengatakan hal-hal yang tidak sesuai dengan alur pembicaraan. Tapi aku dulu tidak memperhatikan itu. Yahh, aku juga berpikir yang lain cukup baik untuk mem-follow apa yang aku katakan, membuatnya lebih sulit untuk kusadari. Dan kemudian, selama tahun terakhir kami, dia berada di kelas yang sama dengan kami.”
"Dia…? Siapa?"
"Seorang gadis bernama Ashiya." (note: ni pasti anaknya si Atta geledek. Ashiya(ppp) Geledek)
Mengatakan namanya saja membuatku merasa tak enak.
Aku benar-benar tidak ingin terus berbicara. Tetapi aku tidak bisa berhenti di sini saja.
“Ashiya terlihat dan berprilaku seperti anak laki-laki, tinggi dan jago dalam olahraga. Itu sebabnya, meskipun kami berada di usia mulai rumit dengan lawan jenis, kami bisa berteman dengannya. Mengatakan hal-hal seperti 'Kamu itu dari awalnya memang laki-laki!'."
Aku pikir bahkan dia suka ketika kami mengatakan itu. Maksudku, kesampingkan aku yang tidak bisa membaca suasana saat itu, Sudou dan Shuuji juga mengatakannya, dan ada kalanya Ashiya sendiri yang membuat kami mengatakan itu. Itu sebabnya, bagian itu setidaknya tidak salah.
"Namun, suatu hari, ketika aku mengatakan hal yang sama seperti biasanya, dia tiba-tiba mulai menangis."
"Eh, kenapa...?"
"Masalahnya adalah Ashiya sebelumnya baru saja ditolak oleh bocah yang disukainya. Alasannya... kalau dia hanya bisa melihatnya sebagai anak laki-laki.”
"..."
Ekspresi Hiiragi mengkerut, seolah-olah dia bisa melihat kejadian itu di depannya.
“Itu membuatku terkejut. Aku tidak mengerti kenapa dia menangis. Lagipula, dia biasanya penuh energi. Aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku terus meminta maaf. Namun, dia tidak berhenti. Ngomong-ngomong, aku baru mengerti setelah semua orang menyadari kalau Ashiya sedang sedih. Mereka tahu dia menyukai anak laki-laki di kelas kami, jadi mereka menebak apa yang terjadi. Ketika semua orang berusaha bersikap baik padanya hari itu, hanya aku satu-satunya yang memanggilnya laki-laki seperti biasa.”
Hiiragi mendengarkanku dengan tenang.
“Para gadis di kelas marah dan berkata aku kejam. Kemudian mereka bilang: "Sudou-san dan Hiroo-kun perhatian padanya, tapi Hosono-kun sama sekali tidak menyadarinya". Setelah itu, meskipun terlambat, aku baru menyadarinya. Kalau aku punya kemampuan interaksi sosial yang buruk. Itu mungkin, aku juga menyakiti banyak orang.”
Hiiragi menggigit bibir, tampak sedih.
"Aku terkejut. Aku tahu aku tidak seharusnya begitu, tapi aku tetap seperti itu. Aku menyukai semua orang. Sangat menyenangkan bisa bersama semua orang, aku senang, dan aku berharap akan terus seperti itu. Tapi, bocah yang pura-pura jadi bodoh itu membuat semua orang tertawa, cewek yang suka ikut campur dalam kelas, cewek periang yang menyenangkan, bocah yang serius itu juga… mungkin aku menyakiti mereka semua dengan perkataanku. Mungkin mereka semua hanya terpaksa denganku. Aku tahu itu. Itu sebabnya... hanya ada satu hal yang bisa aku lakukan. "
──Tidak dekat dengan siapa pun.
Tetap menjaga percakapan dan pekerjaan komite seminim mungkin, tidak bergabung klub manapun. Sama halnya dengan hubungan sosialku, tetap menjaganya sekecil mungkin.
Hari itu, itu menjadi prinsipku.
"Dan itu sebabnya," aku mulai bicara dan tersenyum pada Hiiragi. Kupikir senyuman ini merupakan senyuman paksaan yang bagus bagi seseorang yang memutuskan untuk merubah dirinya sendiri, tapi aku tidak tahu seperti apa dia melihatnya. "Aku menjaga jarak dengan mereka berdua, tidak bicara dengan teman sekelas sebanyak mungkin, dan mencoba untuk hidup sendiri dengan tenang."
"... Begitu," gumam Hiiragi, melihat ujung sepatunya. "Sesuatu seperti itu pernah terjadi..."
Keheningan membentang diantara kita. Sebaliknya, suara kebisingan di daerah perumahan jadi terdengar lebih jelas.
Suara sepeda dari pengantar koran sore. Suara dari seseorang bermain piano, dua anjing saling menggonggong. Pengumuman program berita malam terdengar dari sebuah rumah di samping.
"...Umm, maaf," aku meminta maaf, tidak tahan dengan keheningan. "Aku ingin membicarakan masa lalu yang lebih bahagia... tapi aku tidak terlalu punya ingatan yang seperti itu."
"... Tidak, itu tidak benar," ucap Hiiragi menggelengkan kepalanya, rambutnya berayun-ayun.
Lalu tiba-tiba, dia membuat ekspresi seolah-olah dia baru saja mendapat ide.
"‘Dengan memiliki pengetahuan, aku akan memonopoli apa yang aku sayangi," ucapnya sebelum tertawa kecil.
"... I-itu..."
"Iya... Haaa... Ini sangat memalukan... Mengatakan sesuatu yang aku katakan di novel dengan lantang... Tetapi itulah yang kurasakan... Saat ini, sebagian dari Hosono-kun sudah menjadi milikku..."
Kalimat itu muncul dari "Usia 14 Tahun", dikatakan oleh Tokiko sendiri.
Pipi putih Hiiragi diwarnai dengan warna merah, dan mulutnya rileks. Aku tidak tahu apakah itu karena dia malu, atau karena dia sedang tersenyum.
"Maafkan aku karena telah membuatmu mengatakan sesuatu yang tidak ingin kau katakan... Aku yakin kau tidak punya kesempatan untuk membicarakannya pada siapa pun sampai sekarang... bukan?"
“... Iya. Atau lebih tepatnya, ini pertama kalinya aku membicarakannya dengan sangat jelas.”
"Begitu, pertama kali..." Hiiragi tersenyum padaku. "Terima kasih telah memberitahuku."
Aku secara refleks menyipitkan mata, melihat ekspresi Hiiragi dengan matahari terbenam di belakangnya.
Hiiragi berusaha menghiburku.
Hiiragi, yang buruk dengan orang-orang dan bahkan tidak bisa berbicara dengan teman sekelasnya, berusaha untuk menghiburku, bahkan sampai mengutip kalimat dari "Usia 14 Tahun".
Dan memikirkan hal itu membuatku merasa terbang.
Detak jantungku bertambah cepat. Hatiku terasa lebih tinggi dari yang seharusnya.
Dan tambah menyedihkannya, bahkan tanganku yang memegang tas mulai bergetar.
"Kau tahu, Hosono-kun... aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi... aku tidak berpikir kau adalah seseorang yang harus menjauhkan diri... yang harus membuang perteman dengan orang-orang."
"... Benarkah?"
"Iya. Memang benar Sudou-san dan Shuuji-kun luar biasa... Tapi, lebih mudah dan lebih menyenangkan bagiku berbicara denganmu, Hosono-kun. Dan juga... aku ingin bersamamu..."
Aku merasakan ada benjolan di tenggorokanku mendengar perkataannya.
"Maksudku... Kau membuat pilihan itu, untuk menjauh dari semua orang, karena kau ingin hidup dengan indah, bukan? Aku tidak tahu apakah itu jawaban yang benar. Bisa saja salah. Namun, keindahan tidak ada hubungannya dengan benar atau salah. Aku lebih menyukai orang yang hidup dengan indah daripada yang berusaha menjadi benar.”
Hidup dengan indah.
Tokiko mengatakan itu berulang kali dalam "Usia 14 Tahun".
"... Iya juga, kau ingin hidup dengan indah, Hiiragi..."
"Tapi aku agak pemalu," kata Hiiragi, lalu dia tersenyum. "Kau bilang kau tidak populer, Hosono-kun, tapi... Bagiku, setidaknya... Kau populer, jadi aku pikir seharusnya kau sedikit lebih percaya diri..."
"...Pasti popularitas skala kecil," jawabku mencoba untuk tampil setenang mungkin.
"… Tidak puas?"
Aku berbalik, dan yang berdiri di hadapanku adalah Hiiragi dengan ekspresi serius yang tak terduga.
Dia menatapku dengan mata hitamnya. Bulu matanya yang panjang membentuk bayangan di pipinya, dan iris matanya bersinar seperti langit berbintang.
Aku tidak bisa berpikir jernih lagi.
Tidak bisa memikirkan kata-kata yang cerdik, aku hanya mengatakan apa yang aku pikirkan:
"A-aku..."
"Fiuh... aku senang..."
Saat dia mengatakan itu, Hiiragi membentur pundakku.
Aku merasakan lengan atasnya yang lembut terhalangi pakaian kami di sepanjang benturan itu terjadi. Dadaku menegang karena aroma samponya menggelitik hidungku.
Mari akui itu.
Aku hanya bisa mengakuinya sekarang.
Aku tahu alasan rasa sakit di dadaku.
Aku tahu dari awal. Hasilnya tidak bisa dihindari.
Tokoh utama dari novel yang aku sukai muncul di hadapanku. Dia meminta bantuanku.
Seiring waktu berlalu, kita semakin dekat dan dia mulai berpikir tentang diriku sebagai seseorang yang penting baginya.
Dengan hal-hal seperti itu, mustahil kita hanya menjadi teman.
Mustahil untuk tidak jatuh cinta.
"Lain kali aku ingin bertemu Shishamo," kata Hiiragi, berdiri tegak.
Wajahnya, yang diterangi oleh matahari terbenam, berwarna merah terang.
──Ilusi! Itu hanya ilusi! Jantungmu yang berdenyut-denyut, napasmu yang berat, napasmu yang terputus-putus, semuanya mustahil dalam kehidupan nyata. Menggunakan jemariku yang basah kuyup untuk menyapu kabut di jendela, sekarang aku bisa melihat labu ular merah Jepang tergantung di pohon di sudut taman.
(Usia 14 Tahun / Hiiragi Tokoro - Edisi Machida)
1 Comments
Ditunggu lanjutannya min 👍
ReplyDeletePost a Comment
Silahkan berkomentar dengan adat dan etika yang pantas.